Dan yang paling penting, pemerintah harus mengurangi impor pangan, terutama untuk pangan yang penggantinya bisa dihasilkan di Indonesia oleh petani Indonesia.
Sebutan Indonesia sebagai negara agraris karena banyak warganya yang menggantungkan hidupnya dari pertanian, dikhawatirkan akan luntur. Bagaimana tidak, sektor pertanian kurang mendapat perhatian pemerintah.
Kehidupan petani jauh dari sejahtera. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang tidak beranjak dari angka 100, yang artinya pendapatan yang diperoleh hampir sama dengan pengeluarannya. Bahkan beberapa kali NTP di bawah angka 100 yang menunjukkan bahwa pendapatannya dari bercocok tanam lebih rendah dari yang ia keluarkan. Bagaimana generasi penerus mau melanjutkan pekerjaan orang tuanya jika berprofesi sebagai petani tidak bisa dijadikan sandaran hidup.
Kondisi ini jika tidak segera disikapi pemerintah, akan memaksa petani mengalihfungsikan atau menjual lahannya untuk usaha lain seperti perumahan dan industri. Pemerintah tidak bisa melarang, toh itu tanah miliknya. Semakin banyak yang jual lahan, dampaknya lebih luas, produksi pangan nasional akan turun.
Bukan hanya NTP yang rendah, upah buruh tani juga sangat rendah. BPS mencatat, meski ada sedikit kanaikan namun kenaikan tersebut habis tergerus inflasi sehingga upah riil menjadi turun.
Oktober lalu, upah nominal harian buruh tani naik tipis sebesar 0,08 persen menjadi 57.009 rupiah dibanding bulan sebelumnya sebesar 56.962 rupiah. Kenaikan upah buruh tani sebesar 0,08 persen habis tergerus dengan laju inflasi pada bulan yang sama sebesar 0,10 persen sehingga upah riilnya turun.
Karena itu tidak mengherankan jika jumlah petani Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun mengingat rendahnya pendapatan mereka yang bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani.
Data Badan Pusat Statistik pada 2020 mencatat petani Indonesia berjumlah 33,4 juta orang. Jumlah tersebut turun jika dibanding jumlah petani pada 2019 yang mencapai 34,58 juta orang. Dan jauh lebih rendah lagi dibanding 2018 yang jumlahnya tercatat 35,70 juta orang.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia bisa mengalami krisis petani mengingat petani yang masih aktif saat ini sudah berusia lanjut, sudah mendekati usia kurang produktif.
Ajakan Presiden Joko Widodo kepada kalangan muda untuk tidak malu menggeluti profesi petani harus ditindaklanjuti. Jangan hanya berhenti sampai imbauan saja tetapi harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Perlu ada keberpihakan terhadap petani. Perlu ada distribusi kesejahteraan secara nasional, mulai dari kebijakan makro soal pangan sampai data mikro soal potensi dan tantangan desa. Kebijakan harus dirumuskan berdasarkan realitas di lapangan mulai dari peta bentang alam di desa hingga bentang hidup masyarakat desa agar potensinya bisa dioptimalkan.
Dan yang paling penting, pemerintah harus mengurangi impor pangan, terutama untuk pangan yang penggantinya bisa dihasilkan di Indonesia oleh petani Indonesia. Impor mi instan misalnya, harus segera dihentikan karena negara pengekspor pasti akan mementingkan kebutuhan dalam negeri jika terjadi kelangkaan pangan. Belum lagi biasanya impor pangan dilakukan ketika petani Indonesia sedang panen, akibatnya harga menjadi jatuh.