Kebergantungan terhadap beras menjadi alarm bakal terjadi kerentanan pangan skala besar lagi ke depannya.
JAKARTA - Jumlah daerah rawan pangan memang turun, namun ketahanan pangan RI dinilai masih sangat riskan. Terbaru, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan terjadinya penurunan produksi beras pada 2024 karena penyusutan luas lahan.
Pengamat Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan, salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah ketergantungan yang tinggi terhadap beras sebagai sumber pangan pokok.
Karena itu, Muliarta menekankan diversifikasi pangan penting untuk mengurangi risiko kegagalan panen dan meningkatkan ketahanan gizi masyarakat. Berbagai sumber pangan lokal, seperti umbiumbian, sayuran, dan buahbuahan, harus dipromosikan dan dikembangkan.
"Diversifikasi pangan di Indonesia belum maksimal. Masyarakat masih sangat bergantung pada beras sebagai sumber pangan utama. Ketergantungan ini menimbulkan beberapa masalah. Salah satunya risiko ketahanan pangan.
Ketergantungan pada satu jenis pangan membuat masyarakat rentan terhadap fluktuasi harga dan kegagalan panen," ucap Muliarta, Rabu (16/10). Dia menerangkan jika terjadi bencana alam atau gangguan produksi beras, dampaknya akan sangat besar.
Pola konsumsi yang didominasi oleh beras dapat menyebabkan masalah gizi. "Kekurangan variasi pangan dapat mengakibatkan kekurangan vitamin dan mineral yang penting bagi kesehatan," tegasnya. Dia menjelaskan banyak masyarakat tidak mengetahui atau terbiasa dengan sumber pangan lokal beragam. Karena itu, edukasi tentang manfaat dan cara pengolahan pangan lokal perlu ditingkatkan.
Tantangan Multidimensional
Lebih lanjut, dia mengatakan ketahanan pangan adalah tantangan multidimensional yang memerlukan pendekatan holistik. Diversifikasi pangan dan pengurangan ketergantungan pada beras adalah kunci untuk menciptakan sistem pangan yang lebih resilient. Seperti diketahui, berdasarkan hasil perhitungan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2024, terjadi perbaikan situasi ketahanan pangan di Indonesia.
Jumlah wilayah rentan rawan pangan turun dari 74 kabupaten/kota pada 2021, menjadi 68 kabupaten/ kota (2022), dan turun kembali menjadi 62 kabupaten/kota pada 2023. Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas), Sarwo Edhy, dalam Koordinasi dan Evaluasi Pengendalian Kerawanan Pangan Tahun 2024, di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (15/10), mengatakan berdasarkan hasil perhitungan FSVA Indonesia 2024, jumlah wilayah rentan rawan pangan (prioritas 1-3) turun 12 persen.
Sarwo menyebut capaian ini merupakan hasil dari sinergi dan kolaborasi lintas sektor di tingkat pusat dan daerah. Lebih lanjut, Sarwo mengatakan FSVA telah digunakan sebagai rujukan dalam penetapan lokus dan target intervensi program pengentasan daerah rentan rawan pangan, penurunan kemiskinan, penurunan stunting, dan program-program pembangunan ketahanan pangan yang bersifat lintas sektor. Dari berbagai intervensi yang telah dilaksanakan, terjadi perbaikan dari tahun ke tahun, kualitas ketahanan pangan nasional semakin membaik. Di sisi lain, pada tingkat individu angka Prevelance of Undernourishment (PoU) tercatat turun menjadi 8,53 persen dari sebelumnya 10,21 persen.
Hal ini didukung dengan peningkatan konsumsi energi dari 2079 Kkl/kapita/hari menjadi 2088 Kkl/kapita/hari. Country Director World Food Programme (WFP), Jennifer Kim Rosenzweig, mengapresiasi komitmen pemerintah Indonesia dalam mengentaskan kerawanan pangan dan kemiskinan. Menurutnya, salah satu keunggulan Indonesia dalam hal ini ialah komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan zero hunger atau mengakhiri kelaparan.