Sebagai suatu bangsa pluralistik, Indonesia memiliki suatu struktur masyarakat yang mengandung dua karakteristik. Secara horizontal, ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan etnis/suku bangsa, agama, adat-istiadat, dan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat itu ditandai dengan adanya perbedaan aras lapisan atas dan lapisan bawah yang begitu tajam.
Adaya perbedaan-perbedaan itu, masyarakat Indonesia dinamakan sebagai "plural society", demikian J.S. Furnivall (1967) untuk pertama kalinya menggunakan istilah itu untuk mendeskripsikan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda.
Suatu masyarakat terdiri dua elemen atau lebih yang hidup secara terpisah tanpa terintegrasi satu sama lainnya dalam suatu kehidupan politik. Setiap kelompok etnis tetap mempertahankan identitas asal dan kulturnya dan hidup dalam komunitas etnis yang homogen dengan ciri budaya dan batas-batas teritorialnya tersendiri yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.
Setelah Indonesia Merdeka, semboyan Binneka Tunggal Ika menunjukkan suatu realitas sosial masyarakat bangsa Indonesia yang pluralistik.Di satu sisi, keberagaman merupakan kekuatan yang menjadi modal untuk menjalin kehesivitas sosial dan kemajuan bangsa yang pantas disyukuri.
Penulis buku ini berfokus untuk menyoroti penerapan kebijakan politik etnis pada masa Kolonial Hindia Belanda dan masa sesudah Indonesia Merdeka yang diperoleh melalui penelitian terapan. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa hubungan sosial pada masyarakat pluralistik Indonesia pada masa kemerdekaan belum menunjukkan suatu kehidupan yang harmonis.
Penyebabnya adalah pengelolaan keberagaman etnis di Indonesia pasca-kemerdekaan belum berpihak kepada kebutuhan masyarakat multikultural dalam arti sesungguhnya. Terasa politik kebijakan etnisitas masih dipengaruhi oleh konsepsi Hindia-Belanda yang mengandung kelemahan dasar, sebagai "bias" politik kolonial.
Faktanya, berbagai konflik sosial yang bertalian dengan etnisitas dan agama, secara konsisten seakan masih terjadi (halaman 128). Implikasi yang terjadi akibat ketidaktepatan kebijakan etnisitas terhadap pengelolaan keberagaman etnis di Indonesia tampaknya belum efektif dan masih memperlihatkan "diskriminasi" yang dialami berbagai pihak, baik etnis minoritas maupun etnis mayoritas pribumi (indigenous).
Disamping mengulas kebijakan etnisitas masa kolonial dan penerapan kebijakan, ada upaya menyajikan model keberagaman ke depan berdasarkan setidaknya empat konsep sebagai berikut. Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya referensi budaya dan menghargai keragaman budaya.
Konsep diversitas mengarah pada penerimaan dan respek. Konsep pluralisme yang mengakui bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Konsep relativitas bahwa setiap kebudayaan yang hidup memiliki suatu corak yang khas. Meskipun buku ini berjudul politik etnisitas masa Hindia-Belanda, sebenarnya jangkauan buku ini cukup luas dalam hal pembahasannya.
Jadi sebenarnya masa kolonial hanya dibahas dalam satu bab saja, sedangkan masih ada setidaknya tiga bab yang membahas penerapan kebijakan masa kemerdekaan, implikasi kebijakan dan model kebijakan keberagaman etnis. Disamping tentunya didahului bab yang bicara mengenai dinamika masyarakat majemuk, dan satu bab penutup.
Diresensi oleh Toto Widyarsono, Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).