Tebaran konten positif dipandang mampu meredam bahkan menghilangkan konten negatif di berbagai platform media sosial. Dengan cara tersebut, Content Creator Indonesia (CCID) berupaya mengedukasi masyarakat.

Video komedi yang tampil di you tube menjadi video yang banyak mendapatkan viewer. Video semacam itu dapat tampil di instagram, facebook, blogger maupun platform media sosial lainnya.

Sebagai contoh, tingkah polah subyek yang berjoget maupun memainkan mimik muka kerap mengundang tawa. Namun, kata-kata yang diucapkan dengan logat tertentu berakhir dengan umpatan maupun penyebutan nama binatang membuat miris.

Kondisi tersebutlah yang menjadi perhatian Content Creator Indonesia (CCID). Teknologi yang terus berkembang dan memudahkan segala urusan belum diimbangi etika content creatornya atau pembuat konten. CCID berupaya untuk menekan konten negatif dengan menebarkan konten positif.

"Semakin banyak konten positif, konten negatinya akan hilang," ujar Zulkarnaen, pendiri CCID yang ditemui dibilangan Semanggi, Jakarta Pusat, Jumat (13/7).

Menurut lakilaki yang berprofesi sebagai marketing support di Panca Logistik Nusantara, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa transportasi logistik mengatakan bahwa upaya yang dilakukan bersama temantemannya cukup membawa hasil. Konten positif yang ditebar melalui platform di berbagai media sosial mampu mengurangi terpaan konten negatif.

Saat ini, CCID yang berdiri sebagai komunitas menjadi wadah para content creator. Mereka belajar membuat konten bahkan bersama-sama mengasah kemampuan. Dalam hal ini, komunitas turut memberikan edukasi dalam pembuatan konten maupun penyebarannya, baik terkait etika maupun kreatif.

Bahkan komunitas tidak segan-segan memberikan hukuman untuk anggota yang menyebarkan spam. Bentuk hukumannya pun tidak diberikan akses hingga beberapa hari. Anggota-anggota yang berlaku tidak sopan diarahkan , seperti channelnya mendapat kritikan lalu dia mengumbar amarah di you tube.

Selain mengedukasi masyarakat, para anggota turut mendapatkan edukasi untuk menampilkan konten di jagat maya. Karena seringkali, jagat maya yang tidak menampilkan fisik kreator menjadi media yang gampang untuk nyampah atau membuang semua hal yang dipikiran. Untuk itu, Zulkarnaen selalu mereview konten para anggota sebelum di upload.

Sampai saat ini, CCID memiliki anggota sebanyak 270 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Para anggotanya tergolong anak milenial dengan anggota tertua usia 35 tahun. Keanggotaannya dapat dilakukan dengan mengisis formulir secara gratis. Komunitas hampir tidak pernah melaukan meet ups, karena sebagian anggota berada di luar Jakarta. Mereka hanya berbagi konten hasil karya melalui media sosial.

Untuk menegakkan disiplin, Zulkarnaen membatasi pengunduhan mulai pukul 06.00 hingga 22.00 WIB. "Supaya, anggota disiplin," ujar dia tentang komunitas yang berdiri karena maraknya hoax di media sosial.

Komunitas yang menjadi inkubator paracontent creator diharapkan akan dilirik dunia komersil. din/E-6

Menilik Semangat Para Content Creator

Content Creator sebagai hobi. Sebagian, kalangan memanfaatan profesi tersebut untuk mengisi kesibukanna di luar kesibukan utama, seperti belajar maupun bekerja. Alhasil, mereka membuat konten sesuai suasana hati. Evita Sukma, 21, salah satunynya, Mahasiswa UPN Veteran di Jawa Timur tersebut mengaku tidak memiliki target dalam pembuatan konten.

"Saya tergantung mood saja,"ujar dia yang dihubungi, Jumat (20/7). Ia masih menjadikan content creator sebagai hobi untuk mencurahkan hati dengan perasaan aman.

Hanya kadang-kadang, perempuan yang baru membuat konten berupa video setahun belakang ini ingin membuat konten yang lebih bagus, ia bisa membuat konten nggak sampai dua hari. Wanita yang sehari-hari dipanggil Evita mengatakan content creator menjadi cara untuk mengikuti perkembangan jaman yang bersifat kekinian.

Terlebih, CCID sebagai komunitas tempatnya bernaung selalu mendorong anggota untuk membuat konten. Sehingga, dia memiliki alasan untuk selalu membuat konten. Sepertihalnya Evita, Oji Faoji membuat konten sebagai salah satu mengisi waktu senggang di luar jam kerja.

Penggunggahan artikel tergantung dengan tergantung dengan suasana hatinya. "Dalam sepekan, biasanya tiga artikel yang saya unggah untuk publikasi, itupun tergantung mood dan waktu senggang untuk menulis," ujar dia yang juga berprofesi sebagai blogger partimer. Baik Evita maupun Oji menyepakati bahwa content creator tidak dapat sembarangan membuat hasil karya. Etika menjadi pedoman utama setiap menelurkan karya.

Terlebih karya tersebut akan dipublikasikan bukan sekadar karya yang tersimpan dalam kotak penyimpanan di gadget maupun komputer. Oji menyikapi bahwa etika sebagai content creator menuntut para content creator lebih kreatif.

Sehingga, mereka tidak melakukan reupload, copas artikel dari webside lain, tidak membuat konten negatif dan lain sebagainya.

Sedangkan, Evita yang aktif membuat konten sejak 2012 berpendapat etika akan mendorong untuk membuat konten yang lebih bermanfaat ketimbang konten yang asal jadi. din/E-6

Konten, Antara Plagiat dan Penikmat

Video karya content creator bertebaran di media sosial. Sayangnya, tidak semua video merupakan hasil karya original. Masih banyak konten yang merupakan reupload atau diunggah kembali. Zulkarnaen tidak menampik bahwa masih banyaknya plagiat dalam konten video.

"Masih dan secara terangterangan," ujar dia. Sebagai contoh, banyaknya konten yang di reupload. Parahnya, para viewers malah menikmati tanpa merasa risih apalagi melakukan aksi protes. Konten yang di reupload biasanya isinya dipotongpotong setelahnya konten akan diberi imbuhan sesuai selera pembuatnya, seperti lingkaran. "Pas diklik ternyata tampilannya berbeda dari kenyataan," ujar dia tentang konten reupload yang terkadang terkesan berlebihan.

Zulkarnaen yang mengaku lebih senang menjadi viewer ketimbang membuat konten mengatakan bahwa ada perbedaan antara konten dari dalam negeri dan luar negeri. Di Filipina, misalnya, sejauh pengamatannya konten di negara tersebut cenderung adem ayem. Dalam arti, kalau konten musik, viewer akan menikmati permainan musik maupun lagu.

Jika konten komedi, penonton akan menikmati kelucuan komedi yang ditampilkan. Berbedahalnya jika, viewer mengganti filter dan masuk ke ruang Indonesia, penampilan konten terkesan campur aduk.

"Kita seperti masuk ruang yang berantakan, tidak ada yang menyusun maupun mengelola," ujar dia yang pernah diminta untuk mempromosikan aplikasi video musik pendek yang saat ini sudah diblokir oleh pemerintah. Bagi, Zulkarnaen konten tidak sekadar tayangan luculucuan maupun tayangan mengibur lainnya.

Namun, seorang content creator perlu memiliki etika dalam berkarya. Sehingga, hasil karyanya dapat dinikmati kalangan luas tanpa ada yang tersakiti satu sama lain.

Tebaran konten positif tersebutlah yang terus di sosialisi. Karena minimal, konten positif dapat menjadi penyeimbang ramainya konten di jagat maya. Dalam jangka panjang, konten negatif diharapkan dapat hilang dan masyarakat lebih banyak mendapatkan tebaran kontenkonten yang bermanfaat.

Di sisi lain, Zulkarnaen menyadari bahwa mengubah konten negatif maupun positif bukan semudah membalikkan telapak tangan.

Terlebih, masyarakat lebih memilih larut menikmati segala konten yang tersedia. Sehingga dukungan semua pihak termasuk pemerintah diperlukan untuk membuat konten yang lebih bermanfaat. din/E-6

Baca Juga: