Kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) senantiasa menghiasi pemberitaan setiap musim kemarau tiba. Ini terjadi setiap tahun. Dengan kata lain, kebakaran terus saja terjadi dan gagal menuntaskan. Sampai dua tahun lalu tidak kurang dari dua juta hektare.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, luas karhutla dua juta hektare tersebut mengakibatkan luas gambut berkurang hingga dapat berdampak negatif pada lingkungan. Dampak kebakaran antara lain terlepasnya emisi gas karbondioksida. Kemudian, gas karbondioksida akan menyumbang emisi gas rumah kaca.

Dampak ikutan selanjutnya adalah semakin tinggi pemanasan global. Hilangnya lahan gambut sangat membahayakan, baik di musim kering maupun hujan. Pada musim kemarau sangat rawan kebakaran, sedangkan saat penghujan bisa menimbulkan bahaya banjir.

Kini, kekhawatiran tersebut benar-benar nyata. Di berbagai daerah terjadi karhutla yang tak terkendali. Sepanjang tahun ini saja sudah lebih dari 15.000 hektare hutan dan lahan dilalap api. Tidak kurang dari lima provinsi menyatakan diri siapa kebakaran. Bahkan, mereka berstatus darurat kebakaran. Mereka adalah Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Penetapan status siaga darurat ini diambil setelah beberapa kabupaten/kota di masing-masing provinsi menetapkan siaga darurat. Tiap-tiap provinsi tersebut telah membentuk satgas terpadu untuk mengatasi karhutla. Ada satgas darat, udara, pelayanan kesehatan, penegakan hukum, dan satgas sosialisasi.

Sayang, jumlah dan sebaran titik panas (hotspot) terus saja bertambah dari waktu ke waktu akibat karhutla tersebut. Angka titik panas terus bertambah dari 23 Juli (150) tiap hari naik, hingga sampai 25 Juli menjadi 179 titik panas. Jika ini tidak tertangani dengan baik, sudah barang tentu titik panas semakin meluas.

Berbagai cara memang sudah dilakukan untuk mengerem karhutla, namun sifatnya masih sebatas reaktif. Artinya, setiap ada kebakaran lalu diadakan pemadaman.

Pemerintah belum mampu melakukan antisipasi kebarakan. Selain itu, masih banyak manusia jahat bisa perorangan untuk membuka lahan dengan membakar hutan, namun ada juga perusahaan yang melakukan.

Masih adanya pembakaran hutan untuk membuka lahan ini memperlihatkan bahwa pencanangan zero api dalam membuka lahan tidak jalan. Pada era Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono (Orde Baru), pemerintah sudah mencanangkan zero api dalam membuka lahan. Namun nyatanya setelah Era Reformasi berjalan bertahun-tahun, pembukaan hutan masih terus menggunakan api. Rakyat dan perusahaan diam-diam masih membakar hutan saat membuka lahan.

Praktik tersebut terus terjadi karena hukumnya lemah. Malahan banyak kasus kebakaran hutan para pelaku dan tersangkanya dilepas, alias dihentikan proses hukumnya. Dengan demikian tidak ada efek jera. Para penjahat tetap saja membakar hutan untuk membuka lahan. Mental menerabas dan demi menghemat uang inilah yang membuat fatal karena setelah membakar api dibiarkan meluas karena tidak mampu mengendalikan.

Pemerintah harus mulai memikirkan teknologi untuk mengatasi karhutla karena ke depan pasti akan terjadi lagi. Dengan teknologi yang bisa mengantisipasi, diharapkan karhutla bisa diminimalkan.

Baca Juga: