“Kita telah sama-sama mengetahui, dunia sudah memasuki era internet of military things/internet of battle-field things, di mana operasi militer semakin dapat dikendalikan dari jarak yang sangat jauh, dengan lebih cepat, tepat, dan akurat."
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa ketahanan keamanan siber Indonesia perlu ditingkatkan mengingat adanya kasus peretasan data nasional.
Hal ini mengisyaratkan urgensi ketersediaan lembaga pemerintah yang berfokus pada keamanan siber, termasuk peraturan hukum. Ancaman siber telah menjadi bagian dari realitas ancaman pertahanan negara yang semakin nyata.
"Kita telah sama-sama mengetahui, dunia sudah memasuki era internet of military things/internet of battle-field things, di mana operasi militer semakin dapat dikendalikan dari jarak yang sangat jauh, dengan lebih cepat, tepat, dan akurat," kata pria yang akrab disapa Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.
Berdasarkan data National Cyber Security Index (NCSI) tahun 2023, Indonesia berada di peringkat ke-48 dari 176 negara dunia untuk keamanan siber dengan skor 63,64. Skor tersebut masih berada di bawah skor rata-rata dunia yang mencapai 67,08 poin.
Sementara di negara dengan keamanan siber terbaik di kelompok ASEAN, Indonesia masuk menduduki peringkat ke-5 setelah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. "Jadi, sudah saatnya Indonesia segera mempersiapkan pembentukan matra IV Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menghadirkan Angkatan Siber. Kehadirannya untuk memperkuat tiga matra yang sudah ada, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pembentukan TNI Angkatan Siber bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk mencapai kemandirian pertahanan, mengurangi ketergantungan pada pihak asing, dan menghadapi ancaman yang semakin berkembang," tuturnya.
Bamsoet juga menjelaskan ancaman siber terhadap sistem pertahanan negara sering dikaitkan dengan konsep Peperangan Generasi Kelima (5th Generation Warfare atau 5GW).
Dalam skenario 5GW, ancaman yang dihadapi lebih abstrak dan berbasis informasi, dengan fokus pada domain non fisik seperti dunia maya, psikologis, dan informasi.
Menurutnya, ancaman tersebut tidak lagi berwujud fisik semata, tetapi lebih kepada pengendalian dan manipulasi informasi untuk menciptakan kebingungan dan mempengaruhi opini publik serta moral militer.
"Serangan siber dapat melumpuhkan infrastruktur vital militer, sistem komunikasi, dan jaringan komando, serta merusak sistem senjata yang mengandalkan teknologi digital. Serangan jenis ini jelas bisa mengganggu pertahanan nasional secara signifikan tanpa perlu adanya kontak fisik," ungkap Bamsoet.
Apalagi, tambah Bamsoet, posisi geopolitik Indonesia sangat rawan, lantaran berhadapan langsung dengan trisula negara persemakmuran Inggris: Malaysia, Singapura, dan Australia, yang tergabung dalam Five Power Defence Arrangement (FFDA) bersama Selandia Baru dan Britania Raya, dan di sisi lain, juga berada dalam arena pertarungan geopolitik Rusia, Tiongkok, dan AS.
Bamsoet menguraikan berbagai serangan siber telah terjadi di Indonesia.
Termasuk ransomware server Pusat Data Nasional (PDN) yang berdampak pada data milik Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang diretas dan diperjualbelikan di dark web.
Sebelum kasus ransomware PDN, serangan siber pernah terjadi pada situs KPU pada Pilkada Serentak tahun 2018 serta kasus ransomware wannacry tahun 2018 yang melumpuhkan sistem komputer beberapa rumah sakit dan perusahaan besar di Jakarta.
Selain itu, kasus penyadapan komunikasi pribadi Presiden RI pada tahun 2013 oleh Australia, berdasarkan dokumen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, mantan anggota National Securiy Agency Amerika Serikat.