JAKARTA - Pemerintah melalui aparat penegak hukum dan para pemimpin agama terus berupaya menangkal radikalisme karena sangat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai gerakan-gerakan yang muncul mengindikasikan adanya upaya merongrong Pancasila sebagai dasar negara.

Menanggapi hal itu, peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut mengatakan solusi yang efektif untuk menangkal radikalisme adalah Pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengatur semua warga negara, sehingga tercipta satu keadilan sosial dan ekonomi kepada segenap lapisan masyarakat.

"Jika tidak, jangan heran kalau anak-anak muda yang miskin akan mudah sekali dimasukin aliran yang keras dan radikal," kata Siprianus.

Kebijakan di sektor keuangan misalnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter harus membuat regulasi yang dinilai adil bagi semua pelaku ekonomi termasuk masyarakat. "Jangan membuat lagi kebijakan seperti di masa lalu terutama kebijakan ke perbankan yang pernah membuat ekonomi Indonesia hancur karena di sana ada korupsi, nepotisme, dan salah urus serta pembiaranw," katanya.

Bank Indonesia paparnya, jangan membuat kebijakan yang hanya menguntungkan perbankan. Mereka membuat suku bunga acuan rendah yang mengakibatkan bank-bank memberi suku bunga dana atau simpanan rendah. Di sisi lain, regulator tidak bisa mengontrol bank-bank dalam menetapkan suku bunga kredit. Akibatnya, marjin bunga bank sangat tebal, karena selisih bunga dana dan kredit yang jomplang.

Bunga deposito hanya sekitar 6 persen, sedangkan bunga kredit 12 persena atau ada spread sekitar 6 persen. Makanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyatakan suku bunga kredit di bank-bank dalam negeri jangan-jangan tertinggi di dunia.

Bank sentral dinilai tidak menyadari kalau kebijakan tersebut dengan inflasi yang tinggi bisa menyebabkan terjadinya pelarian modal. Ketika terjadi pelarian, pada akhirnya rakyat kembali menanggung saat kurs (nilai tukar) sulit dikendalikan.

Di sektor riil, Pemerintah katanya harus mengarahkan kebijakan ekonomi ke sistem ekonomi kerakyatan. Misalnya, dengan populasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang mayoritas dalam perekonomian, maka alokasi kredit ke segmen tersebut seharusnya lebih dominan.

Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha. Kontribusi UMKM terhadap PDB juga mencapai 60,5 persen, dan terhadap penyerapan tenaga kerja adalah 96,9 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional.

"Bank diwajibkan memperbesar porsi kreditnya ke UMKM secara proporsional, kalau tidak harus dikenakan sanksi, misalnya tidak boleh membayar dividen. Supaya ada kontribusi kepada rakyat, karena bank bisa besar karena menggunakan fasilitas negara juga. Kalau tidak, direksinya bisa diganti. Jadi solusinya harus holistik dan sinkron," katanya.

Impor Kena Pajak

Sementara itu, Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho mengatakan Indonesia kalau tidak membangun supply chain yang kuat, maka tidak mungkin membangun sistem yang terintegrasi. Industri nasional sulit menggunakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi kalau supply chain tidak jalan dan tidak dibangun.

"Percuma kita mau menurunkan impor, tanpa supply chain yang kuat. Itu bisa terjadi kalau untuk impor tertentu harus dikenakan pajak, sehingga harganya tidak lebih murah. Tarif dari impor beras misalnya bisa digunakan untuk subsidi petani," katanya.

Jangan sebaliknya, kalau impor tepung terigu nol persen, maka tidak akan ada yang mau membangun industri olahan mocaf.

"Impor beras Indonesia 0 (nol) persen, gula terendah di dunia. Bandingkan dengan Jepang yang tarif impor gula 100 persen. Kalau tarif pangan impornya hampir tidak ada dan terigu 0 (nol) bagaimana bangun industri pertanian. Sedangkan petani Indonesia untuk dapat pupuk saja susahnya setengah mati. Jadi harus holistik, tidak bisa kebijakan yang sektoral," pungkasnya.

Baca Juga: