» RI harus lepas dari broker yang terus menggiring pemerintah bergantung pada produk impor.
» Transformasi energi dari fosil ke energi terbarukan harus segera dilakukan.
JAKARTA - Negara-negara di dunia masih menghadapi krisis energi dan pangan dalam beberapa bulan ke depan. Hal itu bersamaan dengan negara-negara Eropa memasuki musim dingin di saat terjadi pembatasan pasokan gas dari Russia. Sedangkan ancaman krisis pangan dikhawatirkan terjadi karena ancaman dari Russia yang akan mengebom kapal Ukraina yang mengangkut gandum ke seluruh dunia serta mundurnya Russia dari kesepakatan ekspor biji-bijian yang ditengahi Perserikatan Bangasa Bangsa (PBB).
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo, dalam penyelenggaraan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Sulawesi Tengah yang dipantau di Jakarta, Senin (31/10), mengatakan ancaman Russia tersebut berpotensi mengganggu pasokan pangan gandum dunia termasuk ke Indonesia.
"Kita akan melihat harga minyak dan gas akan naik beberapa bulan ke depan. Harga komoditas berisiko akan tinggi ke depan. Ini simbol bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak menakut-nakuti, tapi bagaimana memitigasinya ke depan," kata Dody.
Sebagaimana bank sentral di berbagai negara, BI pun meningkatkan suku bunga acuan dengan fokus mengendalikan inflasi meskipun kebijakan tersebut berisiko memperlemah pertumbuhan ekonomi.
"Karena stabilitas perekonomian tidak bisa ditawar. Tidak ada pertumbuhan ekonomi yang tinggi kalau diikuti kenaikan harga yang tinggi yang dapat mengurangi daya beli masyarakat," katanya.
Langkah BI meningkatkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sampai 4,75 persen, sejalan dengan perkiraan peningkatan permintaan masyarakat ke depan karena pandemi Covid-19 telah terkendali.
Dari sisi pasokan, BI juga bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain, serta pemerintah daerah untuk menjaga pasokan bahan pangan melalui GNPIP yang digelar di berbagai wilayah. Beberapa program yang didorong melalui GNPIP ialah urban farming yang diharapkan dilakukan oleh masyarakat dan operasi pasar yang dapat dilakukan dengan menggunakan dana tidak terduga sebesar 2 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Masalahnya, saat ini serapan belanja tidak terduga sebesar 2 persen dari APBD masih sangat rendah, padahal Presiden Jokowi selalu meminta agar dana itu digunakan karena sudah legal untuk digunakan," katanya.
Lepas dari Broker
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, yang diminta pendapatnya mengatakan sudah saatnya Indonesia lepas dari broker yang melekat di pemerintahan yang menggiring agar negeri ini terus menggantungkan diri pada produk impor yang menguntungkan sekelompok kecil golongan saja.
"Mati kita punya bangsa. Kita harus lawan dengan cara mencintai produk sendiri. Negara harus punya komitmen kuat sebagaimana melindungi dan mewujudkan kedaulatan pertanian dan pangan," kata Haedar.
Menurut Haedar, importir dan broker-broker menguasai kebijakan pangan dengan cara seolah-olah Indonesia terus berada dalam situasi mendesak harus impor. Satu-satunya cara melawan adalah dengan memastikan hasil pertanian petani lokal Indonesia diserap secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.
Tentu dengan harga yang berpihak pada petani, namun juga tidak memberatkan pelaku sektor outfarm-nya. Terkait itu, menurut Haedar, solusinya ada dua yaitu kebijakan pemerintah dari pusat sampai bawah dan kesadaran warga untuk mencintai produk sendiri. "Tugas pemimpin ini sebenarnya simpel, kumpulkan para ahli, para pelaksana kebijakan, lalu tantang mereka. Yang penting, saya ingin petani dan dunia pertanian Indonesia ini berdaya," ungkapnya.
Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Energi Baru dan Terbarukan (EBT), Surya Darma, meminta pemerintah untuk mengantisipasi ancaman krisis energi ke depannya, apalagi jika kondisi itu tidak hanya berlangsung untuk jangka pendek, tetapi untuk jangka panjang. "Harus dilakukan transformasi penggunaan energi dari energi fosil ke energi terbarukan. Apalagi jika dikaitkan dengan ambisi target net zero emission (NZE)," tegasnya.
Hal itu perlu segera dilakukan supaya kita tidak bergantung energi impor untuk kebutuhan pembangkit dan transportasi di dalam negeri," kata Surya.
Kondisi tersebut akan makin berat dengan nilai tukar atau kurs rupiah yang terus terdepresiasi terhadap valuta asing (valas), khususnya dollar Amerika Serikat (AS).