JAKARTA - Masih maraknya kasus pemberian gratifikasi kepada pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) dinilai sebagai salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan investor asing enggan masuk ke Indonesia. Investor menilai perilaku birokrat yang senang menerima hadiah atau uang menjadi cikal bakal timbulnya ketidakpastian hukum dalam menjalankan usaha.

Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti, akhirnya menanggapi dugaan kasus suap yang dilakukan perusahaan asal Jerman, SAP, terhadap oknum penjabat di kementerian dan instansi Indonesia. Kasus itu diduga melibatkan pejabat KKP era Susi yakni di tahun 2015 dan 2018.

Susi mengaku belum mengetahui siapa penjabat yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga ia pun masih mencari tahu direktorat yang terlibat. "Saya sedang cari tahu direktorat/person in charge. Oknumnya siapa?" jelas Susi.

Kasus suap itu terungkap usai SAP didenda hingga 220 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan 3,4 triliun rupiah karena diduga melakukan praktik suap ke pejabat Indonesia, Afrika Selatan, dan lima negara lainnya.

Sanksi itu dijatuhkan Departemen Kehakiman atau Department of Justice (DoJ) Amerika Serikat (AS). Meskipun belum dirinci, praktik suap dilakukan untuk mendapatkan keuntungan bisnis dan kemudahan administrasi dengan sejumlah lembaga, termasuk di Indonesia.

"Hasil pemeriksaan kami bersama mitra penegak hukum FBI dan Jaksa Departemen Kehakiman, mendapati jejak suap dan korupsi SAP yang tersebar luas dari Afrika Selatan hingga Indonesia. Hal ini menetapkan sanksi atas perusahaan terdakwa untuk membayar hukuman pidana yang signifikan dan menyetujui perbaikan jangka panjang," demikian dinyatakan Departemen Kehakiman AS, dikutip Senin (15/1).

Barang Berharga dan Uang

Departemen Kehakiman AS menjelaskan suap yang diberikan SAP kepada pejabat Indonesia berupa barang berharga, uang baik dalam bentuk tunai maupun transfer, sumbangan politik, termasuk pembelian barang-barang mewah oleh pejabat Indonesia yang dibayari oleh SAP.

"Kasus tersebut terjadi sekitar tahun 2015 dan 2018 oleh SAP melalui agen-agen tertentu, kepada pejabat departemen/lembaga di Indonesia, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti Kominfo)," lanjutnya.

Belakangan terungkap setidaknya ada delapan instansi yang terlibat. Dikutip dari situs Komisi Sekuritas dan Bursa AS, ada setidaknya delapan badan usaha milik negara dan kementerian yang disebut, mulai dari Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) yang kini bernama Bakti Kominfo, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Sosial, PT Pertamina, Pemda DKI, PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, PT Angkasa Pura I, dan PT Angkasa Pura II.

Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan praktik-praktik suap semacam itu menjadi salah satu penyebab utama Indonesia kurang diminati oleh investor luar negeri.

"Jadi selain kualitas SDM, infrastruktur, praktik-praktik suap, korupsi, dan sejenisnya ini mendorong ekonomi biaya tinggi dan menyebabkan calon investor menghitung ulang kalau harus menanamkan modalnya. Ini menyebabkan angka ICOR (Rasio Incremental Capital Output Ratio) kita yang masih tinggi," kata Wibisono.

Kalau pemerintah memang serius ingin menarik modal asing, sektor-sektor gelap semacam itu harus dibersihkan dan hukum harus ditegakkan. Tanpa kepastian hukum, mereka juga enggan masuk ke Indonesia.

Baca Juga: