Berbeda dengan rezim sebelumnya, politik luar negeri di bawah Jokowi-JK berorientasi ke dalam (inward-looking foreign policy) alih-alih berperan di pentas global. Investasi, infrastruktur, dan lainnya merupakan kata kunci kebijakannya. Buku ini mengidentifikasi karakteristik dan peran politik luar negeri periode Jokowi-JK.

Memang pada awalnya lebih berorientasi ke dalam, tapi belakangan peran di pentas global pun dimainkan secara signifikan. Buku ini memetakan isu-isu politik luar negeri yang menonjol era Jokowi-JK. Buku dibagi ke dalam lima bab. Poros maritim dunia (PMD), bilateralism, peran di ASEAN, menyikapi kebangkitan Tiongkok, dan diplomasi perdamaian serta kemanusian.

Uraian PMD berfokus pada realisasi dua pilar terkait kebijakan luar negeri: diplomasi dan pertahanan maritime yang direalisasikan cukup konsisten. Dalam diplomasi maritim, Indonesia terlibat dalam forum internasional maupun regional seperti Indian Ocean Rim Association (IORA), International Maritime Organization (IMO), ASEAN Maritime Forum (AMF), dan Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF).

Dari forum-forum tersebut, Indonesia lebih intens di IORA karena lebih relevan dan akomodatif dengan visi PMD (hal 15). Sementara itu, dalam pertahanan maritim, strateginya memodernisasi alutsista TNI AL. Namun, ini masih jauh dari ideal karena minim anggaran. Salah satu pendekatan khas Jokowi dalam kebijakan luar negeri ialah bilateralisme.

Pendekatan ini dilandasi karakter Jokowi yang pragmatis, praktis, dan berorientasi hasil (hal 154). Uniknya, bilateralisme malah dipraktikkan dalam forum multilateral. Jadi, ada forum dalam forum. Misalnya, pertemuan bilateral Jokowi dengan negara mitra dagang di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, APEC, dan G20.

Padahal, bilateralisme justru kontraproduktif terhadap upaya Indonesia menjadi pemain global abad ke-21 karena bersifat jangka pendek (hal 31). Peran kepemimpinan Indonesia di ASEAN pun kurang menonjol, sekadar formalitas karena titik fokus dunia kini berada di kawasan Indo-Pasifik. Meski begitu, ASEAN strategis bagi kepentingan Indonesia di masa depan.

Antara lain sebagai kekuatan ekonomi regional, power broker, dan pilar penyangga perdamaian (hal 93). Untuk menyikapi kebangkitan Tiongkok, Indonesia memilih jalan tengah: antara "mengekor" dan "melawan."

Kendati secara ekonomi, Indonesia bertitik temu dengan Tiongkok karena pertimbangan infrastruktur, dalam hal keamanan tidak demikian. Misalnya, titik seteru Indonesia-Tiongkok kala insiden pencurian ikan di perairan Natuna pada Juni 2016 oleh kapal Tiongkok, yang lantas disikapi dengan tembakan dari petugas KRI Imam Bonjol. Tak ayal, Tiongkok mengecam dan mengutuk tindakan tersebut.

Untuk menangkal ancaman dan mengukuhkan status kepemilikan, Indonesia berstrategi diplomasi kapal meriam, unjuk kekuatan, serta membangun dan menamai kawasan Laut Natuna Utara (hal 107).

Bagaimanapun, politik luar negeri bukan hanya raihan kepentingan nasional, melainkan juga tanggung jawab sebagai masyarakat global. Pada era Jokowi-JK, Indonesia berperan sebagai mediator konflik Arab Saudi-Iran pada 2016, diplomasi dan bantuan kemanusiaan Myanmar 2017, dan fasilitator perdamaian Afghanistan pada 2018.

Etika politik ini disebut diplomasi perdamaian dan kemanusiaan. Dimensi etis itulah sumbangan unik buku ini atas literatur politik luar negeri di Tanah Air, sekaligus menampik anggapan umum bahwa politik luar negeri Jokowi-JK sepenuhnya berorientasi domestik.

Diresensi M Isnain Abd Malik, Mahasiswa Universitas Jayabaya

Baca Juga: