Jika dana Tapera dikelola secara tidak transparan dan tanpa pengawasan ketat maka sangat rawan dikorupsi.

JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengkritik keras kebijakan yang terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Selain itu, dia juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit secara menyeluruh dana Tapera dan biaya operasional BP Tapera tahun 2020 hingga 2023.

Permintaan itu disampaikan Rieke jelang penutupan rapat paripurna DPR RI, pada Selasa (4/6), dengan merujuk temuan BPK pada tahun 2021 yang melaporkan ratusan ribu pensiunan belum mendapat pengembalian dana Tapera.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, yang diminta pendapatnya mengatakan masalah utama dari kebijakan Tapera adalah iuran jelas akan menambah beban keuangan bagi pekerja dan pengusaha. Selain itu, ada kekhawatiran efek akumulasi dana dan compound interest yang justru bisa menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik.

"Ada ketidakpercayaan yang besar dari masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam mengelola dana publik. Pengalaman dengan berbagai program pemerintah sebelumnya, seperti dana BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, menunjukkan bahwa pengelolaan dana publik sering kali tidak optimal," kata Achmad.

Salah satu risiko utama Tapera, katanya, adalah potensi salah kelola dana. Dana yang diakumulasi dari potongan gaji pekerja dan pemberi kerja mencapai jumlah yang sangat besar. Kekhawatiran lain adalah risiko korupsi dan penggunaan dana yang ugal-ugalan. Indonesia memiliki sejarah panjang masalah korupsi dalam pengelolaan dana publik.

Jika dana Tapera dikelola dengan cara yang tidak transparan dan tidak diawasi dengan ketat, risiko korupsinya menjadi sangat nyata.

Apalagi, penggunaan dana jangka panjang secara sembrono dapat merusak tujuan utama program tersebut. Misalnya, diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak memberikan pengembalian optimal atau yang memiliki risiko tinggi dapat menggerus nilai dana yang terkumpul.

Achmad menegaskan potensi salah kelola, perilaku korupsi, dan penggunaan dana yang ugal-ugalan dapat merugikan peserta Tapera.

"Oleh karena itu, kebijakan ini sebaiknya ditolak atau dirombak dengan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel untuk melindungi kepentingan pekerja dan publik. Tidak perlu diwajibkan dan cukup penguatan BPJS Ketenagakerjaan," tandas Achmad.

Secara Sukarela

Pengamat sosial dan politik dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Umar Sholahudin, mengatakan kebijakan pemberlakuan iuran Tapera menunjukkan pemerintah gegabah dan kurang peka dengan beban ekonomi yang telah ditanggung rakyat selama ini. Keiikutsertaan program tersebut seharusnya secara sukarela, bukan wajib.

"Kebijakan ini terlalu gegabah untuk dilempar ke publik. Kebijakan yang minim uji publik dan lemah secara pertimbangan sosiologis. Karena itu, wajar jika menimbulkan kontroversi atau ditolak oleh sebagian masyarakat. Sifat kepesertaan program semestinya bukan wajib, tapi kesukarelaan," tuturnya.

Umar juga mempertanyakan program serupa yang telah berlaku sehingga Tapera berpotensi akan tumpang tindih dan menamabah beban para tenaga kerja.

"Lalu, bagaimana dengan program perumahan itu? Kebijakan dan program Tapera ini juga berpotensi tumpang tindih dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan BPJS Ketenagakerjaan (Pasal 37 UU 40/2004), sehingga Tapera selain tumpang tindih, justru menambah beban baru bagi tenaga kerja," katanya.

Selama ini, belum jelas bagaimana evaluasi terhadap Tapera (sebelum ada kebijakan yang baru ini) khususnya bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Jangan sampai kebijakan dan program Tapera yang baru menimbulkan masalah baru bagi tenaga kerja.

"Kepesertaan dan potongan 3 persen (0,5 pemberi kerja/pengusaha dan 2,5 dari pekerja). Apakah pekerja otomatis akan mendapat kepastian dapat rumah, dan bagaimana dengan naker yang sudah punya rumah? Skema dan formulasi Tapera ini masih belum jelas, tapi sudah dilempar ke masyarakat, tanpa uji publik lagi. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap pengumpulan dana oleh pemerintah masih rendah. Apa jaminan dana Tapera akan digunakan untuk perumahan rakyat, bukan digunakan yang lain?" tukasnya.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengaku ragu dengan kredibilitas pemerintah dalam mengelola dana publik. DPR, jelas Badiul, bisa meminta BPK untuk melakukan audit investigasi pengelolaan Tapera yang sudah ada, terlebih sudah ada temuan awal dana itu belum dicairkan pada pensiunan. Hal itu sekaligus untuk mencegah kemungkinan penyelewengan.

"Temuan BPK itu bisa jadi dasar kebijakan untuk menahan agar kebijakan ini dievaluasi sampai tanggung jawab BP Tapera dijalankan untuk para pensiunan," tegas Badiul.

DPR berdasarkan hasil audit BPK juga bisa meminta pemerintah, dalam hal ini Badan Pengelola (BP) Tapera, untuk mengklarifikasi sehingga ke depan tidak ada yang dirugikan.

Dengan mengacu pada laporan BPK, terutama pada tahun 2021 yang tidak dikembalikan, setidaknya memperkuat keraguan publik soal kemampuan pemerintah mengelola dana yang dipotong dari gaji pekerja.

"Itulah pentingnya transparansi pemerintah kepada masyarakat, agar kepercayaan masyarakat menjadi lebih baik. Jangan sampai nasib iuran Tapera bernasib sama dengan kasus Jiwasraya dan Asabri," katanya.

Baca Juga: