Kemitraan pendidikan lintas negara membawa banyak peluang baik bagi institusi di Indonesia maupun institusi asal. Ada juga risikonya jika perspektif lokal tidak dikedepankan.

Billy Nathan Setiawan, University of South Australia

Tanggal 3-5 Juli 2023 lalu, Presiden Republik Indonesia, Joko "Jokowi" Widodo, melakukan kunjungan tahunan pemimpin Indonesia-Australia dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese.

Kedua pemimpin negara menyepakati beberapa hal yang dirumuskan dalam Joint Communique: Indonesia-Australia Annual Leaders' Meeting, salah satunya adalah komitmen untuk mempererat hubungan antar masyarakat kedua negara (connecting people).

Sebagai pegiat pendidikan, bahasa, dan budaya, saya tertarik untuk membahas kesepakatan pemimpin kedua negara terkait rencana pembangunan beberapa kampus cabang universitas Australia di Indonesia, seperti Western Sydney University di Surabaya, Jawa Timur; kampus Universitas Bersama Deakin dan Lancaster di Bandung, Jawa Barat; serta Central Queensland University di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Rencana pembangunan kampus-kampus cabang universitas Australia ini menandakan kebangkitan kemitraan pendidikan lintas negara di Indonesia. Kemitraan pendidikan lintas negara merupakan salah satu wujud agenda internasionalisasi perguruan tinggi yang marak berkembang selama lebih dari setengah abad terakhir.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa institusi pendidikan asing. Swiss German University contohnya, sudah berdiri sejak tahun 2000 dan menawarkan program perguruan tinggi di Indonesia dengan koneksi 26 universitas di Eropa (terutama Jerman, Swiss, dan Austria). Sementara itu, universitas Monash (Australia) Indonesia resmi dibuka tahun lalu sebagai kampus luar negeri pertama di Indonesia.

Kemitraan pendidikan lintas negara memang bisa membawa banyak peluang baik bagi instutusi tuan rumah di Indonesia maupun institusi asal. Namun, terdapat juga beberapa risiko jika perspektif lokal tidak dikedepankan.

Risiko penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi di kelas

Kemitraan pendidikan lintas negara umumnya diikuti secara otomatis oleh peraturan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas untuk semua mata kuliah. Hal ini kerap menimbulkan banyak kendala bagi mahasiswa di institusi tuan rumah, di mana bahasa Inggris bukan merupakan bahasa pertama mereka.

Salah satu contohnya dipaparkan oleh Stuart Perrin, peneliti dari pusat bahasa universitas Xi'an Jiaotong-Liverpool di Cina, yang meneliti kebijakan dan perencanaan bahasa di kemitraan antara Xi'an Jiaotong di Cina dan Liverpool University (Inggris). Masalah pokok yang ia temukan adalah bagaimana performa belajar mahasiswa di institusi Cina ini dinilai berdasarkan norma-norma penutur asli bahasa Inggris.

Padahal, sama seperti di Indonesia, fungsi bahasa Inggris di konteks lokal adalah sebagai bahasa asing atau bahasa tambahan (bukan sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua). Terlebih lagi, banyak pengajar di institusi tersebut yang juga tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama mereka. Sehingga menggunakan bahasa Inggris sebagai indikator utama tidaklah tepat.

Risiko penggunaan kurikulum yang tidak kontekstual

Temuan sementara disertasi saya (belum dipublikasikan) menunjukkan bagaimana kurilukum impor menekankan kemampuan yang tidak terlalu sesuai dengan konteks lokal, kontennya tidak mempertimbangkan dunia kehidupan mahasiswa di konteks lokal, serta tingkat kesulitan yang tidak sesuai dengan kemampuan mahasiswa lokal yang sebenarnya.

Mahasiswa lokal seolah diharapkan untuk berpikir secara 'Amerika' karena konten-konten di kurikulum banyak mengedepankan konteks dari negara asal kurikulum tersebut.

Temuan ini serupa dengan apa yang dipaparkan oleh Stuart Perrin, bahwa tubuh dan otak mahasiswa lokal seolah diharapkan untuk berfungsi semirip-miripnya dengan bagaimana penutur asli bahasa Inggris atau orang-orang dari negara pengekspor kurikulum berpikir dan bertindak.

Perkuat perspektif lokal

Untuk menjamin program kemitraan pendidikan lintas negara bisa membawa manfaat bagi mahasiswa Indonesia, perlu adanya kebijakan dan perencanaan bahasa yang jelas dan menyeluruh.

Perencanaan kebijakan bahasa yang mengatur posisi Bahasa Inggris serta mengakui keberadaan, fungsi, dan kontribusi bahasa-bahasa lain (seperti bahasa Indonesia dan bahasa lokal) dalam proses belajar mengajar akan mempersiapkan mahasiswa Indonesia untuk menjadi individu-individu multilingual dan multikultural yang kompeten.

Artinya, mahasiswa tidak hanya fasih berbahasa asing, tetapi juga mampu menggunakan pembendaharaan semua bahasa dan budaya yang mereka miliki sebagai sumber pemikiran kritis dan pemecahan masalah.

Di akhir ulasannya, Perrin merekomendasikan beberapa pertanyaan yang patut diperhatikan, seperti sejauh mana penggunaan bahasa selain bahasa Inggris diperbolehkan dan dalam konteks apa saja; sejauh mana bahasa Inggris dijadikan alat ukur penilaian; sejauh mana bahasa Inggris dijadikan sebagai bahasa kerja dan pembekalan-pembekalan apa yang akan diberikan kepada semua pihak terkait.

Perrin juga menyatakan pentingnya mengakui keberadaan dan fungsi bahasa-bahasa selain bahasa Inggris yang digunakan oleh pemangku-pemangku kepentingan di institusi lokal.

Buku kumpulan studi kasus kemitraan pendidikan lintas negara di berbagai negara, menekankan pula pentingnya memastikan bahwa program-program tersebut relevan untuk nilai-nilai lokal dan pentingnya mempertimbangkan suara mahasiswa lokal untuk membantu memaksimalkan potensi dan manfaat program tersebut untuk negara tuan rumah.

Mempertimbangkan perspektif lokal dalam perencanaan kebijakan kemitraan pendidikan lintas negara di Indonesia bukan merupakan bentuk kecurigaan terhadap pihak asing, tetapi sebagai bentuk perlindungan terhadap mahasiswa Indonesia dalam proses belajar mereka serta terhadap bahasa dan budaya yang kita punya.The Conversation

Billy Nathan Setiawan, PhD Candidate in Applied Linguistics, University of South Australia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: