Komunitas Perempuan Ungu membantu berpikir postif dalam menghadapi perceraian.

Ada sebuah klimat bijak tentang perceraian. Begini kalimatnya: Perceraian, seperti langit yang runtuh dan hilangnya udara dari nafas sebuah pernikahan. Padahal bukan itu. Perceraian adalah bagaimana menghargai kehidupan dan mengisinya kembali dengan kesejukan dan keindahan. Namun, apapun, perceraian memang sebuah fenomena yang acap kali menguras emosi untuk para pelakunya, baik laki-laki maupun perempuan.

Perceraian memunculkan kegelisahan. Kondisi perkawinan tengah berada di ujung tanduk membuat pelakukanya kadang kehilangan kontrol. Terlebih, jika pelaku mengidap bipolar, reaksi anarkis menjadi luapan kegundahan hati. Masalah lainnya makin parah, kalau masing-masing pasangan saling ngotot untuk memenangkan egonya. Harapan perceraian segera diputuskan namun kenyataan prosesnya terbengkali di pengadilan.

Ternyata berpisah dengan pasangan tidak semudah membalikkan telapak tangan , banyak proses yang diperlu dilalui bahkan mempersiapkan mental. "Kita men-support teman di ambang perceraian, Kita mensupport jangan sampai bercerai," ujar Hayu Lusianawati, 41, Pendiri Komunitas Perempuan Ungu (KPU) yang ditemui disebuah kafe di Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (22/4). Karena muncul anggapan, komunitas menjadi kumpulan mendukung perceraian. "Enggak," ujar dia singkat. Namun adakalanya perceraian tidak bisa dielakkan. Komunitas berupaya membantu perempuan untuk lebih survive hidup setelah bercerai. Sebagai contoh, anggota yang memiliki bawaan bipolar. Setelah bercerai dari suaminya, ia menjadi pribadi gampang marah dan mengamuk. Lalu dia dianjurkan untuk mencari pekerjaan. Beruntung, dia mendapatkan pekerjaan sebagai manager.

Setelah bekerja, dia menjadi pribadi yang lebih tenang dan menjalani kehidupan seperti umumnya. "Jadi perempuan itu kalau nggak ada pasangannya harus benar-benar mempunyai pemberdayaan ekonomi yang kuat," ujar dia. Sehingga, dia dapat membiayai kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. "Otomatis akan menjadi happy single mom," ujar dia. Kabetulan, para anggota KPU yang tercatat di jejaring sosial sebanyak 45 merupakan para wanita bekerja.

Dalam kegiatannya, KPU yang berada di Jakarta secara rutin menggelar pertemuan kopi darat maksimal tiga bulan sekali. Dalam ajang tersebut, mereka akan mendatangkan psikolog, psikiater maupun ahli hukum untuk membicarakan topik-topik terkait perceraian maupun parenting. Di sisi lain, para anggota dapat meminta bantuan para professional tersebut jika mengalami kendala dalam proses perceraian.

"Gratis tetapi harus melalui aku dulu ya," ujar Hayu tentang para profesional yang kenal karena pertemanan tersebut. Selain itu kadang-kadang , mereka melakukan kopi darat dengan anggota KPU di Bali, Yogyakarta maupun Bandung Saat ini, anggota KPU merupakan single mom karena perceraian, kematian, wanita belum menikah maupun wanita belum menikah namun memiliki kasus hamil di luar pernikahan. Hayu mengatakan meskipun mereka secara mental dan keuangan telah mandiri atau move one namun bukan berarti tidak membutuhkan kehadiran laki-laki.

"Bagaimanapun, kita butuh laki-laki karena kalau anak sudah besar kita membutuhkan pendamping untuk curhat (curahan hati), apalagi yang muslim untuk melengkapi ibadah," ujar Hayu yang selalu mengingatkan teman-temannya. Namun setelah memiliki anak, pertimbangannya tentu berbeda dengan seorang gadis, mereka akan mempertimbangkan kecocokan dengan keluarga dan anak. KPU berdiri pada 2010, komunitas ini bermula dari tulisan-tulisan yang dibuat Hayu melalui blog.

Dia menuliskan tentang pemberdayaan perempuan dalam bidang ekonomi maupun sosial serta masalah KDRT yang dialami wanita-wanita di pesisir Jakarta, sebagai daerah kerjanya dahulu. Ternyata masalah tersebut tidak hanya dialami wanita pesisir, wanita urban pun mengalami hal serupa.

Bahkan sampai saat ini, kasus perceraian terus meningkat kurang lebih sebanyak dua persen pertahunnya. KPU sebagai bentuk dukungan untuk wanita yang mengalami perpisahan dengan pasangannya, termasuk dirinya yang telah berpisah dengan suami selama 11 tahun yang lalu. din/E-6

Tutup Lembaran Kelam, Mulai Kehidupan Baru

Perjalanan hidup manusia kadang penuh liku, salah satunya yang dialami Rachmawati, 24. Tiga tahun silam, wanita yang saat ini bekerja sebagai karyawan café di Jakarta Pusat harus menghadapi kehamilan di luar nikah tanpa pertanggung jawaban pasangan. Pihak keluarga yang diberitahukan tentang kondisinya bukannya menolong malah menyarankannya untuk aborsi.

"Kalau nggak digugurin, kamu angkat kaki dari rumah. Aku lebih milih angkat kaki rumah," ujar dia menirukan ucapan bapak angkatnya yang ditemui di sebuah kafe Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (22/4). Ancaman menggugurkan kandungan buannya berhenti. Pada 2015, ia diantarkan tantenya untuk menggugurkan kandungan di daerah Cikini, Jakarta Pusat. "Ya Allah ini bukan kemauan aku. Aku ingin melahirkan anak ini," ujar dia yang baru mengetahui pacarnya telah memiliki istri saat mengetahui dirinya hamil. Sebelumnya, wanita yang biasa disapa Rachma telah dibawa ke tukang urut untuk membantu mengeluarkan janinnya.

Di lain pihak, keluarganya menghubungi pacarnya yang telah menikahinya secara siri untuk meminta biaya aborsi. Sebanyak 6 juta rupiah menjadi bekal untuk mengugurkan kandungan. Rasa was-was menyergap sepanjang di tempat aborsi.

Tempat tersebut mirip dengan klinik kebidanan. Seorang wanita yang semula duduk bersamanya di ruang tunggu, tampak dibobong sambil menahan nyeri setelah saat dari ruang aborsi. Melihat pemandangan tersebut, Rachma semakin ketakutan. "Yang aku sayangkan, pemerintah tutup mata. Padahal di Cikini banyak klinik aborsi," ujar dia. Bahkan aparat berseragam tampak disekitar klinik. "Aku miris, kenapa sih, bayi yang nggak tau apa-apa dibunuh. Ini kan manusia, derajatnya lebih tinggi dari setan," ujar dia. Sebelum aborsi dilakukan, kandungan Rachma di USG tersebih dahulu. Ternyata kandungan yang telah memasuki usia empat bulan telah membentuk kepala bayi. "Bu maaf, ini udah kebentuk bayi," ujar dia menirukan petugas klinik.

Biaya yang dibutuhkan pun lebih besar, senilai 15 juta rupiah. Dalam hati Rachma mengucap syukur karena uang yang dimiliki tidak mencukupi. Namun, tante yang mengantarkannya tak patah arang. Ia diajak ke klinik yang lain, kenyataan harganya masih di atas 6 juta rupiah. Sampai akhirnya, tantenya berujar."Kayaknya, anak ini memang harus hidup," ujar dia menirukan ucapakn tantenya. Keputusan yang membuat hatinya teramat lega.

Di mulailah babak baru menjalani kehamilan di rumah tantenya. Untuk biaya persalinan, Rachma mengurus BPJS sendiri di saat usia kandungannya sembilan bulan. Sampai melahirkan, ia harus masuk ruang operasi dan merasakan mules seorang diri. Sementara, ibu dan tantenya mengurus surat-surat.

Rachma sempat berpindah tempat tinggal setelah kehadiran bayinya. Ia harus menelan pil pahit karena ibunya setengah hati menerima kehadirannnya dan bayinya. Akhirnya, bapak angkat yang sempat menolaknya saat hamil bersedia menampungnya dan buah hati. Sehingga saat kerja, Rachma tidak kebingungan untuk menitipkan anaknya.

Sebentar lagi, Rachma bakal menutup lembaran kelamnya. Karena pada 7 Mei nanti, ia akan melangsungkan pernikahan dengan pacarnya semasa SMA. Laki-laki yang mau menerima dirinya dan anaknya serta mampu membuatnya menjadi wanita seutuhnya.

"Dia mendatangkan orang tuanya dari kampung ke Jakarta, dikenalin dan mengajak jalan bareng dengan si kecil," ujar dia sambil berlinang air mata. Tidak hanya orang tua pasangan barunya yang menerima kondisinya melainkan keluarga besar pasangan. Kebaya semasa SMA dan sayur asem rumahan akan memeriahkan pernikahan yang dirancang sederhana. din/E-6

Mengelola Tantangan Setelah Perceraian

Memasuki kehidupan baru setelah perceraian atau perpisahan bukan perkara sederhana. Status janda menjadi label baru. Di luar hal tersebut, wanita dituntut segera bangkit supaya hidup tidak terbelenggu kesedihan maupun kemarahan. Hayu Lusianawati, 41, dosen sebuah perguruan tinggi swasta membenarkan bahwa predikat janda banyak mendapat godaan.

"Bahkan godaan itu dari pada pejabat. Yu, sama aku aja," ujar dia menirukan atasannya semasa dia bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Namun yang paling berat, tekanan menjadi janda justru dari lingkungan keluarga. Keluarga dengan mudah melemparkan kesalahan padanya karena kegagalannya dalam membina rumah tangga. Setelah bercerai, dia diminta bapaknya untuk kembali ke rumah orang tuanya oleh bapaknya.

"Karena setelah bercerai, almarhum bapak meminta saya kembali ke rumah. Kamu di luar banyak fitnah selain itu bapak masih sanggup mengurusin kamu," ujar dia menirukan ucapan orang tuanya. Maka, dia dan anaknya kembali ke rumah orang tuanya setelah bercerai. Namun sejak itu, ia justru mendapat tekanan dari pihak keluarga, terutama setelah bapaknya meninggal. Hayu yang tinggal bersama ibunya dan anak satu-satunya, kerap berbeda pendapat dengan orang tuanya.

Ibunya yang berorientasi pada uang kerap merendahkan pekerjaannya sebagai dosen yang tidak memiliki penghasilan setinggi PNS. Belum lagi, tante-tantenya ikut menyalahkan karena telah membuat orang tua stres. "Jadi, kita hancur justru di rumah," ujar dia yang berencana pergi ke psikiater. Risma Kartika, 43, dosen sebuah universitas swasta menerima anggapan miring karena status jandanya. Cercaan predikat janda pernah diterimanya dari lingkungan sejawat. Tak pelak cercaan tersebut membuatnya sakit hati. Namun, Risma memilih untuk tidak mengindahkannya dan lebih memilih tenggelam bersama pekerjaan, mahasiswa maupun temantemannya. Ibu satu anak ini memilih me time merupakan waktu untuk memulihkan kondisi dirinya setelah perceraiannya dengan suami pada 8 Maret 2013. "Kita banyak teman, bisa gaul," ujar wanita yang saat dilamar tengah mengerjakan tesis.

Wanita yang tampak tangguh dengan gaya bicaranya yang ceplas ceplos bukan berarti tidak pernah bersedih setelah memutuskan perceraian dengan suami yang seorang tokoh politik. Namun perkawinan yang terburuburu, waktu perkenalan hanya sebulan, tidak membentuk pernikahan hamonis. Terlebih, dia belum terlalu mengenal latar belakang suami yang memiliki beberapa wanita dan keluarga yang pernah mengalami KDRT.

Meski menghadapi situasi yang sedikit berbeda, keduanya sepakat beribadah dengan menyerahkan masalah kepada Yang Maha Kuasa menjadikan hati lebih tenteram. din/E-6

Baca Juga: