PHNOM PENH -??Meskipun Kamboja merupakan negara agraris, namun masih mengimpor sayur dan buah dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan RRT merupakan pemasok utama sayuran dan buah untuk Kamboja. Namun demikian, Indonesia patut berbangga karena salak asal Indonesia masih menjadi primadona di Kamboja.
Impor sayuran dan buah dilakukan karena beberapa faktor. Pertama, harga yang lebih murah daripada produk lokal. Kedua, pola bercocok tanam di Kamboja masih menggunakan cara tradisional sehingga hasil produksi bergantung pada musim. Ketiga, kurangnya kemampuan untuk post-harvest karena teknologi dan keterampilan masih terbatas. Keempat, sistem irigasi yang masih belum memadai. Kelima, kurangnya pasar untuk produk dalam negeri dimana sebagian besar masyarakat Kamboja lebih memilih produk impor. Terakhir, kurangnya tenaga kerja di sektor pertanian dan perkebunan khusus untuk produk sayuran dan buah-buahan.
"Hal ini disebabkan karena rata-rata petani memilih menanam padi, sementara itu penduduk usia muda lebih memilih untuk bekerja di pabrik dan sektor industri lainnya, sedangkan sebagian besar para petani telah memasuki usia lanjut tidak dan dapat bekerja secara maksimal," lapor KBRI Phnom Penh seperti dikutip dfari laman kemlu.go.id, Selasa (9/2).
Menurut data dari Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan, Kamboja mengimpor 200 ton hingga 400 ton sayuran per hari dari Vietnam, Thailand, dan RRT. Volume permintaan diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu selama musim dengan cuaca yang sejuk (November - Februari) di mana Kamboja mengimpor sekitar 200 ton/hari serta musim kemarau (Maret - Juni) dan musim penghujan (Juli - Oktober) di mana Kamboja mengimpor 400 ton/hari. Total impor tersebut diperkirakan mencapai sekitar 140.000 ton dengan jumlah 200 juta dollar AS per tahun.
Dari segi geografis, Vietnam, Thailand, dan RRT memiliki keuntungan berlokasi dekat dengan Kamboja. Bahkan Vietnam dan Thailand langsung berbatasan darat dengan Kamboja, yaitu Thailand dengan Provinsi Banteay Mancheay, Oddar Mancheay, dan Pailin, dan Vietnam dengan Provinsi Kampot, Takeo, Kandal, Prey Veng, Svay Rieng, Tbong Khmum, Kratie, Mondulkiri and Rattanakiri.
Faktor geografis ini menjadikan Vietnam sebagai pengekspor utama sayur dan buah ke Kamboja. Selain itu, Vietnam juga memberikan kemudahan fasilitas bagi para petaninya untuk ekspor. Biaya transportasi barang dapat lebih murah karena dilakukan melalui jalur darat. Dari segi administrasi, impor dari Vietnam tidak serumit jika dibandingkan Thailand, RRT ataupun Indonesia.
Produk pertanian dari Indonesia juga telah memasuki Kamboja, seperti pupuk, buah segar, dan alat berat. Namun, biaya transportasi yang dikeluarkan menjadi lebih mahal sehingga secara harga kalah bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan RRT.
Satu-satunya produk pertanian Indonesia yang dapat secara konsisten masuk ke pasar Kamboja adalah salak segar. Keunggulan salak asal Indonesia adalah rasanya yang tidak dapat tidak dapat dijumpai di Vietnam dan Thailand.
Salak segar Indonesia pertama kali diimpor sejak 2016 dan terus meningkat sampai dengan 2019. Pada tahun 2019, impor salak Indonesia dapat dilakukan sebanyak 2 kali dalam seminggu dengan jumlah 5 ton/minggu. Dalam setahun, impor tersebut mencapai 480 ton. Untuk menjaga kualitas rasa dan kesegaran dari buah salak, kargo udara merupakan transportasi yang paling efisien.
Menurut Duta Besar RI Phnom Penh, Sudirman Haseng, salak merupakan salah satu komoditi Indonesia yang dapat diterima secara luas dengan baik dan menjadi salah satu alat diplomasi Indonesia di Kamboja. "Diharapkan komoditi lainnya dapat segera menyusul popularitas salak dan tentu kedepannya dapat meningkatkan ekspor terutama untuk produk-produk pertanian dan perkebunan Indonesia," ucap Dubes Sudirman Haseng. "Faktor konektivitas terutama melalui jalur udara pada masa pandemi merupakan salah satu kendala utama untuk mendorong ekspor produk perkebunan dan pertanian Indonesia. KBRI Phnom Penh terus berupaya melakukan pendekatan dengan berbagai maskapai baik di Indonesia maupun Kamboja untuk membuka kargo khusus udara terutama untuk komoditi segar," imbuh dia.
Pada awal 2020, impor salak hanya dapat dilakukan selama 2 bulan sebelum semua akses penerbangan ditutup akibat pandemi Covid-19. Impor yang semua dilakukan dua kali seminggu tersebut berubah menjadi satu kali sebulan, dan sehingga satu kali setiap tiga atau empat bulan tergantung ketersediaan charter flight khusus.
Penggunaan charter flight untuk mengimpor buah menyebabkan biaya transportasi yang sangat tinggi. Pada akhirnya, transaksi total sepanjang 2020 tercatat hanya 30 ton. Pada awal Februari 2021, sebanyak 7 ton salak Indonesia dapat diimpor kembali masih menggunakan pesawat charter flight khusus.
Menurut data Kementerian Perdagangan Kamboja, total perdagangan Indonesia dan Kamboja tercatat pada 2020 688 juta dollar AS, di mana Indonesia menjadi salah satu negara asal impor terbesar di Kamboja. Jumlah ini memiliki potensi untuk meningkat jika dapat diimbangi dengan ketersediaan transportasi langsung terutama kargo udara dari Indonesia ke Kamboja yang dapat menekan biaya transportasi. I-1