oleh siti nurul hidayah

Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin akan dilantik Oktober sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Keduanya dihadapkan segudang persoalan bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dsb. Secara ekonomi masih dihantui kelambanan pertumbuhan lima persen. Kondisi tersebut membuat Indonesia terjebak dalam status negara berpenghasilan menengah (middle income country). Akibatnya, angka kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial kian tinggi.

Ekonomi juga masih harus menghadapi dampak perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongok yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Jika tidak diantisipasi dan dicarikan solusi, besar kemungkinan perang dagang berdampak buruk pada ekonomi nasional.

Di bidang politik, pemerintahan Jokowi punya tugas berat untuk mengurai polarisasi politik sisa kontestasi pemilihan Presiden 2019. Meski Pilpres 2019 sudah selesai dan pemenangnya sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), residu perpecahan yang ditinggallkannya masih terasa.

Di bidang social budaya, tantangan juga tidak bisa dibilang ringan. Ada tugas berat menaikkan indeks pembangunan manusia agar mampu bersaing dengan negara-negara maju. Persaingan global akan sangat ditentukan kualitas sumber daya manusia (SDM). Maka, sosok-sosok calon anggota kabinet amat menentukan arah bangsa.

Publik berharap, Jokowi membawa perubahan signifikan di periode kedua. Ekspektasi itu tidak berlebihan karena Jokowi memiliki sejumlah modal sosial-politik lebih besar dan kuat ketimbang pada periode pertama. Secara elektoral, Jokowi mendapat 55,5 persen suara, naik sekitar 2 persen dari Pilpres 2014.

Di parlemen dipastikan mendapat dukungan lebih dari 50 persen. Selain itu, dia juga tidak memiliki beban politik sebagai adalah kesempatan terakhir menjadi presiden. Semua modal sosial-politik harus digunakan sebaik-baiknya untuk menyusun kabinet dengan formasi terbaik.

Namun demikian, melihat perkembangan akhir-akhir ini, tampak betul hak prerogatif presiden untuk memilih menteri tersandera. Paling tampak tentu manuver partai politik (parpol) koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf yang terkesan mengintervensi atau mempengaruhi keputusan presiden dalam memilih menteri.

Hal ini sebenarnya bukan baru. Presiden sebelum-sebelumnya juga mengalami. Meski presiden memiliki hak penuh memilih menteri, akhirnya harus berkompromi dengan parpol dalam gerbong koalisi. Kesepakatan-kesepakatan politik inilah yang membuat susunan kabinet tidak ubahnya seperti bagi-bagi kekuasaan belaka. Alhasil, kursi menteri lebih banyak diduduki politisi perwakilan parpol, alih-alih profesional yang kapabel.

Kemudian kabinet tidak mampu bekerja secara profesional, efektif, dan efisien. Acapkali, para menteri terlibat dalam konflik kepentingan bernuansa politis yang membuat kinerjanya tidak maksimal. Hal itu tentu berdampak langsung pada buruknya kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Kepemimpinan

Pada titik inilah kepemimpinan Jokowi diuji. Inilah momen membuktikan benar-benar seorang pemimpin atau sekadar petugas partai. Jika merujuk pada gagasan Franz Magnis Suseno, sejatinya seorang presiden adalah petugas rakyat, bukan partai. Meski dia didukung sejumlah parpol ketika maju sebagai capres, seorang presiden harus menyusun cabinet berdasar kepentingan rakyat, bukan semata mengakomodasi kepentingan pragmatis parpol pengusung.

Kepemimpinan Jokowi sebagai presiden akan tampak jika mampu menyusun kabinet dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Di antaranya, lebih memberi jatah kalangan profesional ketimbang unsur parpol. Terlebih di pos-pos strategis seperti kementerian ekonomi, perdagangan, perindustrian, pertanian, pendidikan, kesehatan, dan sumber daya energi.

Hal ini penting agar kementerian yang mengurusi persoalan strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dipimpin sosok profesional, berintegritas, dan progresif. Selain itu, menteri dari kalangan profesional biasanya disambut positif oleh pasar dan pelaku industri pada umumnya.

Jokowi diharapkan memberi kesempatan kaum muda masuk ke dalam jajaran kabinet. Ini tidak hanya sebagai bentuk keberpihakan negara pada kaum muda, namun juga sebuah strategi menyelesaikan persoalan bangsa. Selama ini, kabinet cenderung dikuasai golongan tua, bahkan sosok-sosok bagian Orde Baru.

Maka, tidak mengherankan bila pendekatan dalam menyelesaikan persoalan acapkali tidak progresif, lamban, dan terkesan kaku. Keterlibatan anak muda dalam kabinet diharapkan mampu memberi perspektif baru dalam melihat persoalan kebangsaan dan kenegaraan, sehingga muncul gagasan-gagasan progresif serta dinamis.

Presiden harus memastikan pembantunya memiliki rekam jejak yang bersih, jauh dari korupsi, tidak melanggar hak asasi manusia maupun kasus hukum lainnya. Di periode kedua kepemimpinannya, dia jelas akan lebih gesit bekerja jika dikelilingi jajaran pembantu yang tidak memiliki beban persoalan terkait hukum dan HAM masa lalu.

Tidak kalah penting, calon anggota kabinet diseleksi melalui tahapan yang bisa dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi akses publik. Jangan sampai, kandidasi menteri hanya menjadi ajang politik dagang sapi antarelite parpol. Jangan sampai pula, kandidasi menteri dilakukan secara tertutup dan dibungkus kesepakatan-kesepakatan politik yang merugikan rakyat.

Politikus Amerika Serikat, Mario Cuomo (1932-2015) pernah berujar, "You campaign in poetry, govern in prose." Saat politikus berkampanye seperti tengah menggubah puisi berisi kata indah dan janji memikat. Namun ketika memimpin, dia seperti tengah menyusun prosa lebih realistis, aplikatif, dan bisa diterima semua kalangan.

Meminjam analogi Cuomo tersebut, inilah saatnya Jokowi untuk menyusun prosa, bukan lagi membuat puisi. Keberhasilan menjalankan roda pemerintahan ditentukan salah satunya cara memilih sosok yang tepat untuk menjadi anggota kabinet. Jika salah pilih, bukan tidak mungkin justru akan menjadi beban bagi pemerintahannya kelak.

Publik berharap pada periode kedua, Jokowi mampu tampil secara akseleratif. Pekerjaan di bidang ekonomi, politik, dan hukum yang belum selesai di periode pertama, hendaknya bisa dirampungkan periode kedua. Pada saat yang sama sejumlah tugas berat juga menunggu untuk segera dituntaskan. Semoga, pasangan Jokowi-Ma'ruf bisa memenuhi ekspektasi publik. Penulis Peneliti Center for the Study of Society and Transformation

Baca Juga: