YANGON - Junta militer Myanmar telah memindahkan pemimpin demokrasi yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, dari lokasi penahanan yang dirahasiakan ke sebuah penjara di ibu kota negara itu, Naypyidaw.

"Berdasarkan dengan undang-undang pidana, Aung San Suu Kyi ditahan di tempat khusus yang terpisah dari tahanan lainnya," kata juru bicara dewan militer yang berkuasa, Zaw Min Tun, dalam sebuah pernyataan pada Kamis (23/6).

Aung San Suu Kyi ditahan pada 1 Februari tahun lalu saat militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang ia pimpin.

Penerima Nobel Perdamaian itu didakwa atas 20 tuntutan pidana. Ia telah dinyatakan bersalah atas enam dakwaan, termasuk mengimpor alat komunikasi secara ilegal. Sejauh ini, ia telah dijatuhi total sebelas tahun hukuman penjara.

Pihak militer menyatakan persidangannya akan diadakan di sebuah pengadilan khusus di penjara Naypyitaw.

Kelompok prodemokrasi dan masyarakat internasional mengkritik junta militer dan mengatakan bahwa persidangan yang semena-mena dilakukan di bawah kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi terdakwa.

Hukuman penjara atas Aung San Suu Kyi ini pun diperkirakan akan mengundang kritik lebih lanjut.

Laporan Kelompok HAM

Pada saat bersamaan, sebuah kelompok HAM di Myanmar menyatakan lebih dari 2.000 orang terbunuh dalam aksi militer sejak kudeta pada Februari 2021 lalu.

Asosiasi Bantuan Tahanan Politik mengungkapkan bahwa hingga Rabu (22/6), total ada 2.007 orang telah meninggal akibat opresi tersebut.

Kelompok HAM itu menyebutkan bahwa banyak kematian dilaporkan di kawasan Sagaing, Myanmar barat laut. Pertempuran antara militer dan pasukan prodemokrasi terus berlanjut di kawasan itu.

Dikatakan bahwa militer menggunakan artileri berat untuk menyerang desa-desa dan menyiksa penduduk. Kelompok HAM itu menyatakan militer menyerang warga yang berlindung di sebuah fasilitas agama Buddha dan membunuh 11 orang.

"Militer menembak sejumlah orang dari belakang," lapor kelompok HAM tersebut.

Sementara itu Kedutaan Besar Amerika Serikat di Myanmar menyatakan turut berkabung atas kematian lebih dari 2.000 warga sipil tersebut. Melalui akunTwitterpada Rabu, kedutaan besar itu menuliskan bahwa kejahatan tak berperikemanusiaan di seluruh negeri yang dilakukan militer terhadap orang-orang Myanmar menegaskan urgensi untuk menuntut pertanggungjawaban anggota militer.

Jumlah warga sipil yang tewas dalam aksi militer terus bertambah meskipun masyarakat internasional menyerukan diakhirinya kekerasan. Asean bahkan berupaya memediasi junta dan pasukan prodemokrasi dengan mengirim utusan khusus ke Myanmar. AFP/NHK/I-1

Baca Juga: