Pemerintah junta di Myanmar mengecam keputusan PBB terkait penolakan perwakilan mereka di badan internasional itu. Junta menilai keputusan PBB telah menolak eksistensi negara mereka.

YANGON - Junta Myanmar pada Kamis (2/12) mengecam keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menolak perwakilan yang dipilihnya untuk duduk di badan dunia itu dan mempertahankan utusan yang ditunjuk oleh pemerintah terguling Aung San Suu Kyi.

Menurut para diplomat, komite yang bertanggung jawab untuk menyetujui pencalonan duta besar PBB telah bertemu pada Rabu (1/12) tetapi menunda keputusan atas klaim-klaim sengketa terkait kursi Myanmar dan Afghanistan di PBB.

Penangguhan itu mengakibatkan utusan-utusan yang ditunjuk oleh kedua pemerintah sebelumnya tetap menempati posisi mereka. Pemerintah Myanmar digulingkan lewat kudeta militer pada Februari dan pemerintah Afghanistan digulingkan oleh Taliban pada Agustus.

"Keputusan ini tidak mencerminkan kenyataan di lapangan dan eksistensi negara kami," kata juru bicara junta Myanmar, Zaw Min Tun. "Kami akan terus mengajukan permohonan penggantian ini seperti biasa, sesuai prosedur diplomatik dan hak perwakilan yang diatur hukum internasional dan domestik," imbuh dia.

Penangguhan itu membuat Kyaw Moe Tun, yang ditunjuk oleh pemerintah Suu Kyi, tetap bertugas sebagai utusan Myanmar di PBB. Sementara junta telah memilih mantan perwira militer Aung Thurein sebagai utusan Myanmar untuk PBB.

Moe Tun menjadi berita utama tak lama setelah kudeta karena memberikan penghormatan tiga jari kepada para pengunjuk rasa prodemokrasi dari kursinya di PBB. Ia dengan berani menentang desakan junta militer dengan menyatakan bahwa ia tidak lagi mewakili Myanmar.

Keruntuhan Ekonomi

Sementara itu dilaporkan bahwa perekonomian Myanmar sedang runtuh dan para ahli memperkirakan akan terjadinya lebih banyak perdagangan ilegal dan pertumbuhan nol pada tahun mendatang.

Ekonomi Myanmar mengalami penurunan pesat dipicu akibat kekacauan terkait kudeta militer Februari lalu yang mengakibatkan terjadinya aksi pembangkangan sipil dimanaribuan warga telah mogok, menolak untuk bekerja di bawah kekuasaan militer, termasuk petugas kesehatan, pengacara, guru dan insinyur.

Beberapa hari setelah kudeta terjadi sembilan bulan lalu, Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) terbentuk. Ini adalah kampanye pemogokan buruh skala besar dengan misi untuk melawan junta guna merusak ekonomi yang dikendalikan militer. Tak lama setelah gerakan dimulai, para bankir Myanmar bergabung dan menolak untuk pergi bekerja.

Langkah itu mendorong masalah arus kas bukan hanya bagi penduduk dan bisnis, tetapi juga militer. Seiring berjalannya tahun, setiap bisnis milik militer atau afiliasinya menghadapi boikot besar-besaran.

Gwen Robinson, seorang editor di Nikkei Asia yang mensponsori sebuah acara yang diselenggarakan oleh Foreign Correspondent's Club of Thailand (FCCT) di Bangkok pada November lalu, menguraikan beberapa kemerosotan ekonomi di Myanmar.

"Jelas kita melihat keruntuhan di Myanmar saat ini. Ekonomi gelap merebak dan ada persepsi yang berkembang tentang akan terjadinya keruntuhan ekonomi domestik yang resmi dan terbuka," kata dia.

Dengan terus berlanjutnya penindakan keras di Myanmar, perusahaan militer Myanmar menghadapi sanksi perdagangan yang berat dari AS, Inggris, dan Uni Eropa, dimana semua negara itu memberi tekanan pada kepemimpinan militer.AFP/VoA/I-1

Baca Juga: