YANGON - Junta yang berkuasa di Myanmar pada Jumat (27/9) melancarkan serangan udara baru terhadap kota yang dikuasai oposisi, beberapa jam setelah mereka mengeluarkan undangan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada musuh-musuhnya untuk berunding mengenai perang saudara di negara itu.

Seruan mengejutkan yang dilayangkan Kamis (26/9) kata para analis untuk mendiskusikan kemungkinan upaya bagi menyenangkan sekutu utamanya, Tiongkok, dan mendorong pelaksanaan pemilu baru, namun dua kelompok bersenjata terkemuka dengan cepat menepis tawaran itu.

Tawaran itu datang saat junta militer sedang terhuyung-huyung akibat kekalahan di medan perang melawan kelompok etnis minoritas bersenjata dan Pasukan Pertahanan Rakyat pro-demokrasi yang bangkit untuk menentang perebutan kekuasaan oleh militer pada tahun 2021.

Saat ini kelompok bersenjata tersebut telah merebut beberapa titik posko penyeberangan perbatasan yang menguntungkan dan bulan lalu merebut Lashio, sebuah kota berpenduduk 150.000 jiwa.

Beberapa jam setelah tawaran itu, jet tempur junta militer mengebom Lashio di Negara Bagian Shan utara, yang sekarang dikuasai oleh pejuang dari Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar (MNDAA).

"Saya mendengar dua ledakan," kata seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan, kepada AFP. "Saya mendengar lima orang terbunuh dan banyak orang terluka," imbuh dia.

"Tawaran perundingan junta itu merupakan pertama kalinya rezim menyatakan kesediaan untuk berdialog dengan pasukan perlawanan pascakudeta," kata Richard Horsey dari International Crisis Group. "Itikad tawaran itu akan memungkinkan mereka untuk menampilkan diri mereka sendiri, misalnya kepada Tiongkok yang tengah mendorong kesepakatan sebagai pihak yang menginginkan perdamaian, bahkan saat mereka terus melancarkan serangan udara tanpa pandang bulu," ucap Horsey.

Tanggapan

Terkait tawaran perundingan dari junta, AFP telah menghubungi Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) dan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), kelompok etnis bersenjata yang menguasai wilayah di utara, untuk dimintai komentar. Sedangkan MNDAA tidak dapat dihubungi.

Kelompok etnis bersenjata Karen National Union (KNU), yang telah berjuang selama beberapa dekade untuk otonomi di sepanjang perbatasan Thailand, mengatakan perundingan hanya mungkin dilakukan jika militer menyetujui tujuan politik bersama.

"Hal tersebut termasuk militer menjauhi politik, menerima konstitusi federal yang baru, dan bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata juru bicara KNU, Padoh Saw Taw Nee.

"Jika mereka tidak setuju, maka tidak akan terjadi apa-apa, dan kami akan terus menekan mereka secara politik dan militer," kata dia. AFP/I-1

Baca Juga: