» Kelapa sawit ditanam di hutan milik negara, semestinya pasar dalam negeri diprioritaskan.

» Minyak goreng yang bahan bakunya dari dalam negeri krisis, apalagi komoditas pangan yang diekspor pasti ikut dimainkan.

JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuat petisi di change.org yang intinya mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengusut dugaan kartel minyak goreng. Jika terbukti ada kartel, pemerintah diminta mencabut izin ekspor perusahaan agar bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dalam petisi yang sudah ditandatangani 154 orang tersebut, YLKI mengangkat fakta kalau setiap ada stok minyak goreng yang masuk ke minimarket maka langsung ludes, sementara di pasar tradisional, harga minyak melambung tinggi sekali.

"Bikin bingung banget, ya. Kenapa bisa, negara penghasil minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, tapi masyarakatnya nggak bisa membeli minyak goreng sawit dengan harga yang lebih terjangkau dan tidak ada gangguan pasokan?" sebut YLKI.

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan kelangkaan minyak goreng karena diduga para pemain di minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) lebih memilih mengekspor produknya ke pasar internasional karena harga mahal.

"Kondisi ini berulang dari kondisi dulu yang juga pemasaran CPO di luar negeri naik dan para pengusaha ramai-ramai menjual keluar negeri sehingga pasokan bahan baku minyak goreng kurang. CPO itu kan ditanam di hutan milik negara, ya jangan begitu, dalam negeri harus diutamakan sesuai UUD 1945," papar Dwijono.

Dia berharap KPPU segera turun tangan untuk investigasi pasar CPO dan minyak goreng nasional apakah ada monopoli atau proses bisnis yang keliru sehingga masyarakat dalam negeri justru banyak dirugikan. "Investigasi dengan terbuka, jangan ditutup-tutupi. Di mana pun kartel atau monopoli itu penyakit pasar," kata Dwijono.

Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, berharap dugaan kartel bisnis minyak goreng ini tidak hanya sebatas pada investigasi oleh KPPU, tetapi juga dari sisi pidana.

Satgas Pangan, jelasnya, perlu melakukan penyelidikan untuk mengungkap kemungkinan adanya tidak pidana dari polemik lonjakan harga minyak goreng. "Satgas Pangan kan ada kepolisian sebagai penegak hukum, mestinya mereka turun mengusut dugaan permainan harga ini. Kalau ada temuan pidana tindak tegas pelaku atau perusahaannya," tegas Badiul.

Dugaan permainan kartel, papar Badiul, mulai terlihat saat harga CPO dunia naik maka secara bersamaan harga minyak melangit dan barang di pasar langka.

"Kita dukung langkah tegas KPPU membongkar kasus ini, sehingga kebijakan pemerintah lebih efektif dari hasil kerja KPPU," tegas Badiul.

Dia juga meminta Kementerian Perdagangan perlu terbuka kepada masyarakat terkait dugaan kartel minyak goreng yang disampaikan KPPU.

Ditelikung Terus

Sementara itu, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia, pemerintah harus bisa mengatur kestabilan harga minyak goreng melalui tata niaga yang benar.

"Saya mendukung petisi YLKI, supaya pemerintah tidak ditelikung terus oleh pengusaha-pengusaha itu. Mereka tinggal dan berbisnis di Indonesia, seharusnya ikut memikirkan kepentingan masyarakat luas. KPPU perlu menyelidiki dan membuktikan adanya permainan kartel ini. Pemerintah bisa menggunakan undang-undang ketahanan pangan yang di dalamnya memuat tidak boleh menimbun untuk mencari keuntungan," kata Ramdan.

Dia mengindikasi praktik kartel dilakukan pemilik pabrik pengolahan sawit, karena mereka menguasai lahan perkebunan sawit hingga ribuan hektare. Pabrik pengolahan kapasitas sedang biasanya memiliki 15 ribu hektare.

"Praktik kartel ini karena kenaikan harga minyak sawit di pasar global, demikian juga di dalam negeri. Harga minyak sawit baik untuk minyak goreng maupun kebutuhan biofuel sedang bagus," katanya.

Meskipun ada ketetapan satu harga, para pemain-pemain itu tetap mencari margin tertinggi dalam memasarkan produknya. "Jika minyak yang bahan bakunya saja dari dalam negeri krisis, apalagi komoditas pangan yang diekspor pasti akan ikut dimainkan," tutup Ramdan.

Baca Juga: