» Novel Baswedan: hukum di era Jokowi bisa diatur cukong.

» Pemimpin negara berkewajiban menegakkan hukum dan menindak aparat yang memperjualbelikan hukum.

JAKARTA - Di tengah upaya pemerintah mencari pembiayaan guna Pemulihan Ekonomi Nasional akibat dampak pandemi Covid-19, investasi yang diharapkan mampu mengakselerasi perekonomian justru kurang bergairah. Selain karena investor masih menahan diri dan menunggu perkembangan penanganan wabah, mereka juga belum percaya sepenuhnya kepada pemerintah baik di pusat maupun di daerah, terutama mengenai jaminan kebenaran kepastian hukum.

Bukan pada investor yang baru mau masuk saja yang masih ragu, para investor yang existing (sudah berinvestasi) dalam negeri kerap ragu untuk menambah investasi karena saat beroperasi kerap diperlakukan tidak adil oleh aparat yang mencari keuntungan dengan mencari-cari kesalahan.

Perlakuan aparat penegak hukum yang kerap memeras para pengusaha itu dan mempermainkan berbagai kasus lainnya melalui hukum rimba diakui oleh Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, dalam sebuah acara webinar di Jakarta, akhir pekan lalu.

Novel mengatakan tatanan penegakan hukum di daerah dan nasional sangat buruk karena pemerintahan saat ini tidak memprioritaskan hal itu.

"Penegakan hukum bahkan bisa diatur. Mohon maaf, oleh cukong, kelompok oligarki. Jadi, suatu kasus yang nyata bisa diputar sedemikian baik," kata Novel.

Menurut Novel, penegakan hukum yang buruk berpotensi membuat permainan uang dalam politik menjadi tinggi. Kondisi tersebut yang menyebabkan Indonesia sulit untuk maju karena uang yang menentukan benar dan salah, bukan hukum dan keadilan yang jadi fondasi. Tiga fondasi dalam penegakan hukum adalah kebenaran hukum, keadilan hukum, dan kepastian hukum.

"Luluh lantak. Saya tidak ingin bicara pesimisme dan inginnya optimisme. Tapi ini faktanya," kata Novel.

Bahkan, kata Novel, tidak sedikit penegakan hukum yang menjual perkara dan berbuat curang sehingga tak heran jika banyak penegak hukum yang memiliki harta luar biasa. "Justru korupsi yang banyak di penegakan hukum dengan menjual perkara dan menggadaikan kewenangan," papar Novel.

Tidak Diusut

Menanggapi pernyataan Novel Baswedan, Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengakui bahwa penegakan hukum saat ini belum menggambarkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, berdasarkan prinsip persamaan di hadapan hukum atau equality before the law, sehingga tidak semua kasus hukum diusut tuntas. Misalnya, ada kasus mandek atau tidak diusut tuntas seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Lebih lanjut, Arsul mengatakan indikasi seperti yang disampaikan Novel Baswedan itu terjadi di semua lembaga penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK.

Politikus dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai pemerintah sebenarnya tak memungkiri situasi tersebut. Bahkan, Presiden Joko Widodo pernah meminta penegakan hukum, khususnya kasus korupsi, ditindak tegas tanpa pandang bulu.

"Itu indikasi bahwa penegakan hukum kita masih ada tangan-tangan yang mengendalikan penegak hukum untuk kasus-kasus tertentu," kata Arsul.

Intervensi Hukum

Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi, yang dihubungi terpisah, mengatakan agar Indonesia bangkit dan keluar dari tekanan ekonomi terutama akibat beban utang sudah seharusnya pemerintah menegakkan kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.

Kewajiban negara adalah melakukan intervensi hukum terhadap institusi yang tidak berlandaskan kepada hukum yang berpihak terhadap kebenaran dan lebih mengutamakan kekerabatan.

Sebagai negara yang berlandaskan hukum, maka wajar kalau Presiden menindak upaya penyalahgunaan hukum oleh aparat yang merusak tatanan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat. "Jika hukum pun sudah dikorupsi maka negara akan sulit bangkit," katanya.

Pengemplang BLBI, misalnya, yang nilainya besar, namun bebas berkeliaran, padahal kasus tersebut menghancurkan negara yang menyebabkan investor enggan membeli Surat Berharga Negara (SBN). Obligasi rekap dibiarkan pecah bunga berbunga sampai 4.000 triliun, tapi pelakunya bebas. Malah dielu-elukan dan dijadikan sponsor oleh oknum pejabat. Tidak ada satu pun perampok BLBI yang tersentuh hukum, malah jadi kawan pemeran penguasa dari masa ke masa, sehingga membuat negara sulit bangkit dan yang jadi korban 200 juta rakyat.

Kelakuan aparat bukan hanya itu, banyak juga pelaku usaha atau industri yang mempekerjakan puluhan ribu pekerja dan petani mitra binaannya kerap diperas karena dianggap bukan dari kelompok mereka. Aparat bahkan berani menyegel diesel satu industri yang tetap beroperasi, padahal itu bukan kewenangannya.

Menanggapi pernyataan Novel Baswedan, Uchok menambahkan, kalau negara dikuasai oleh cukong hukum itu, maka yang berlaku hukum rimba. Pemerintah seharusnya tidak diam dengan dalih tidak bisa mengintervensi. Sebagai negara yang berdasar atas hukum, jika ada praktik penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya seharusnya pemerintah intervensi agar tidak rusak.

Negara tidak akan berjalan dengan baik dan bisa pulih kalau tidak ada kepastian hukum. Jika teman atau kroninya yang melanggar, aparat tutup mata. Sebaliknya, orang yang tidak salah dicari-cari kesalahannya, sehingga lebih tepatnya perilaku mereka adalah praktik mafia hukum.

Kelompok mafia itulah yang ditengarai menguasai negara, bahkan terkesan di atas Presiden. Peringatan Kepala Negara tidak digubris karena mereka tidak mendapat sanksi.

Soal intervensi hukum, Uchok mengatakan negara yang tidak menegakkan keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum adalah negara hukum rimba. Negara yang berhukum rimba seperti itu tidak akan berhasil membangun keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, juga tidak akan menjadi tujuan utama investor dunia.

Pengajar dari Universitas Gadjah Mada, Bhima Yudhistira, berpendapat oligarki di sektor pangan berkeliaran tanpa adanya hukuman berat dari pemerintah. Ini terbukti dari penanganan mafia pangan yang terkesan berat sebelah.

Sementara itu, Ekonom Nailul Huda mengatakan salah satu kendala Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara maju lainnya dalam menarik investasi adalah masalah kepastian hukum. "Tidak ada satu pun negara yang bisa membangun kepastian ekonomi dan politik yang stabil kalau tidak ada kepastian hukum," kata Nailul.

Singapura bisa mempunyai PDB per kapita 63.000 dollar AS karena ada kepastian hukum berjalan dan semua orang percaya itu adil, penegak hukumnya bersih dan tidak menzalimi orang atau pengusaha tertentu.

Pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan pemerintah perlu menegakkan kepastian hukum sebab akan menjadi salah satu mesin penggerak penting dalam perekonomian. ers/uyo/ola/SB/E-9

Baca Juga: