Jika BI terlalu longgar dalam kebijakan suku bunga, outflow atau arus modal keluar akan semakin deras.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat terjadinya aliran modal keluar sebesar 6,63 triliun rupiah dari pasar keuangan domestik pada pekan lalu. Hal itu menjadi salah satu penyebab kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) kembali tertekan.

Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso melalui keterangan persnya di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan dari jumlah tersebut, tercatat jual neto sebesar 3,01 triliun rupiah di pasar saham dan jual neto 4,53 triliun rupiah di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Kondisi tersebut harus disikapi bank sentral secara lebih bijaksana dengan tidak terburuburu menurunkan bunga acuan, karena akan memacu aliran dana dari portofolio keuangan lebih deras, dan pada akhirnya rupiah akan semakin tertekan. Manajer Riset Sekretaris Nasional (Seknas) Fitra, Badiul Hadi menegaskan BI perlu mereview kembali kebijakan menurunkan suku bunga yang diniatkan buat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi domestik.

Di sisi lain, justru akan membuat investor yang mengharapkan imbal hasil tinggi meninggalkan Indonesia. "Dampaknya outflow modal semakin besar, sehingga mengurangi likuiditas dan menekan nilai tukar rupiah," kata Badiul. Outflow modal 6,63 triliun rupiah jelasnya, terutama di pasar saham dan pasar surat berharga negara (SBN), jelas akan berpotensi menekan nilai tukar potensial dan pada akhirnya rupiah terdepresiasi lebih dalam. "Situasi ini akan berdampak pada perekonomian domestik," kata Badiul.

Dia menjelaskan bahwa keluarnya investor dari pasar saham dan SBN menegaskan adanya kekhawatiran pada ketidakstabilan pasar keuangan Indonesia. Dampak lainnya adalah volatilitas kurs akan berlanjut. "Pemerintah harus segera mengambil tindakan tindakan strategis mengamankan nilai tukar rupiah dan perekonomian nasional. Karena berpotensi menimbulkan efek domino hingga ke masyarakat, seperti menurunnya daya beli masyarakat,"ungkap Badiul.

BI Perlu Hati-hati

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo mengatakan arus modal keluar dalam sepekan terakhir harus disikapi dengan bijaksana yakni fokus pada memberi optimisme pasar dengan cara memberi sinyal jelas bahwa semua yang berada dalam kekuasaan Prabowo dan kabinet memang kompeten menangani ekonomi nasional terutama di tengah guncangan-guncangan dunia.

"Arus modal keluar yang kita lihat pekan ini menjadi cerminan bahwa Indonesia memang terpapar terhadap dinamika eksternal, namun, penting bagi kita untuk menyadari bahwa faktor- faktor eksternal tersebut berada di luar kendali pemerintah Indonesia," katanya.

Dalam konteks seperti itu, sangat krusial bagi Pemerintah dan otoritas fiskal untuk menekankan pada aspek-aspek yang dapat kita kendalikan secara langsung demi menjaga stabilitas ekonomi domestik,"kata Sri Susilo saat dihubungi di Surabaya, Minggu (27/11).

Menurutnya, sinyal yang kuat dan optimistis dari pemerintah terkait arah ekonomi nasional akan sangat membantu dalam menenangkan pasar dan menjaga kepercayaan investor. "Presiden dan kabinet, misalnya, perlu memperlihatkan komitmen yang jelas dan langkah konkret untuk memastikan bahwa ekonomi Indonesia tetap berada pada jalur pemulihan yang solid. Sinyal-sinyal positif ini sangat penting untuk menumbuhkan kembali keyakinan di tengah ketidakpastian global saat ini," kata Sri Susilo.

Dia pun menggarisbawahi peran Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas rupiah dan arus modal. "BI perlu berhati-hati dalam kebijakan suku bunga. Meskipun kebijakan pelonggaran moneter terlihat menggiurkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, saat ini menurunkan suku bunga terlalu agresif dapat meningkatkan risiko arus modal keluar yang lebih besar, yang pada akhirnya akan menekan nilai tukar rupiah," kata Sri Susilo.

Ia menjelaskan bahwa menjaga suku bunga yang kompetitif adalah upaya terbaik dalam situasi seperti sekarang. Jika BI menurunkan suku bunga acuan maka outflow atau arus modal keluar akan semakin deras, dan rupiah akan semakin tertekan. "Keseimbangan antara menjaga daya tarik investasi dan stabilitas makroekonomi harus menjadi prioritas," tutupnya.

Baca Juga: