» Jika semua PLTU batu bara di luar negeri dengan penyertaan modal Tiongkok dibatalkan maka dapat menghindari sekitar 646 juta ton emisi karbon dioksida tahunan.

» Investor Jepang dan Tiongkok menuai keuntungan dari over investasi di tenaga batu bara sehingga wajar mereka menjadi bagian dari solusi dalam mendukung transisi energi.

JAKARTA - Jepang dan Tiongkok berkewajiban untuk mendanai konversi ke energi terbarukan Indonesia sesuai dengan proporsi masing-masing, karena kedua negara tersebut telah menjerumuskan Indonesia ke dalam energi kotor selama beberapa puluh tahun terakhir.

Guru Besar Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan bahwa negara-negara yang selama ini telah banyak menangguk keuntungan dari investasi PLTU di Indonesia, seperti Tiongkok dan Jepang, berkewajiban untuk mendanai konversi ke energi terbarukan Indonesia, sesuai peran dan porsi mereka selama ini dalam pemanfaatan energi fosil.

"Negara-negara itu harus fair, karena selama ini mereka telah mendapat benefit yang sangat besar dari pengembangan PLTU di Indonesia. Tentu sumbangan ini harus sesuai porsi yang mereka dapat selama ini. Ingat, penduduk dunia sudah delapan miliar jiwa, kita harus mewariskan lingkungan hidup yang sehat bagi anak cucu. Tidak bisa ekonomi maju bertransisi sendiri, mereka harus membantu negara-negara berkembang seperti Indonesia," katanya.

Sementara itu, Manajer Riset dan Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan Jepang dan Tiongkok secara moral wajib membantu pembiayaan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. "Mereka cukup lama menyandera Indonesia, dengan komitmen pendanaan upaya percepatan EBT bisa lebih cepat," kata Badiul.

Apalagi Presiden Tiongkok, Xi Jinping, sudah berkomitmen tidak memberi pendanaan proyek batu bara di luar negeri. "Ini momentum Indonesia untuk mendorong proyek kerja sama bidang energi ke EBT bukan lagi batu bara," katanya.

Di dalam negeri, pemerintah juga harus berkomitmen untuk berperan aktif mengurangi emisi rumah kaca dengan menghentikan proyek batu bara.

Dalam artikel yang ditulis Eric Ng dari Post seperti dikutip South China Morning Post (SCMP.com) menyebutkan Tiongkok telah berjanji tidak akan membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, dan secara finansial harus membantu negara berkembang lain yang bergantung pada batu bara seperti Indonesia. Sebab, negara itu telah menjadi pemodal proyek asing terbesar menuju ke transisi ke energi terbarukan.

Indonesia, produsen dan eksportir batu bara terbesar ketiga di dunia, perlu menginvestasikan 150-200 miliar dollar AS per tahun untuk energi rendah karbon selama sembilan tahun ke depan guna memenuhi target emisi nol karbon pada 2060.

"Indonesia tidak memiliki uang sebanyak ini," kata Frank-Jurgen Richter, ketua lembaga pemikir Horasis yang berbasis di Zurich dan mantan Direktur Forum Ekonomi Dunia di sela-sela pertemuan tahunan Asia Horasis akhir bulan lalu.

"Jepang, melalui Bank Pembangunan Asia (ADB), mendukung transisi energi di Asia Tenggara, tetapi itu tidak cukup untuk menjembatani kesenjangan pendanaan yang besar. Saya berharap Tiongkok mengikuti. Jika tidak, itu akan mengirimkan sinyal yang salah tentang pengaruh Tiongkok di wilayah tersebut. Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana dan seberapa cepat," katanya.

Jepang telah berjanji untuk mengakhiri pembiayaan publik untuk proyek-proyek batu bara di luar negeri pada akhir tahun, dan telah memberikan komitmen sebesar 70 miliar dollar AS dalam bentuk uang publik dan swasta antara tahun ini dan 2025 untuk mendanai proyek-proyek dekarbonisasi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi batu bara.

Tingkatkan Dukungan

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dalam pidatonya di Majelis Umum PBB, September lalu, menyatakan Tiongkok akan berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar negeri, dan meningkatkan dukungan bagi negara berkembang lainnya untuk membangun proyek energi rendah karbon. Tidak jelas apakah janji tersebut mencakup proyek energi batu bara yang sudah dalam tahap konstruksi dan perencanaan.

Beberapa hari setelah pidato Xi, Bank of China berkomitmen untuk tidak mengambil tambang batu bara baru di luar negeri dan pembiayaan proyek bertenaga batu bara mulai Oktober. Perusahaan asuransi dan manajer aset seperti AIA Group juga telah melakukan divestasi aset batu bara mereka sebagai bagian dari tren global untuk mengurangi eksposur terhadap risiko iklim.

Dari 31,9 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi di Indonesia, sekitar 41 persen dibiayai oleh entitas Tiongkok, sementara pemodal Jepang mendukung 17 persen, menurut sebuah studi oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) yang diterbitkan bulan lalu.

Selain itu, lebih dari setengah dari 13,8 GW proyek yang dalam proses (pipeline) telah menerima dana baik dari Jepang maupun Tiongkok.

Analis IEEFA, Elrika Hamdi dan Putra Adhiguna, dalam laporannya mengatakan ekspansi tenaga batu bara yang berlebihan dalam 15 tahun terakhir telah mengakibatkan surplus kapasitas pembangkitan sebesar 50 hingga 60 persen di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dominan di Indonesia, sehingga mempersempit ruang untuk pertumbuhan energi terbarukan.

"Seiring investor Jepang dan Tiongkok menuai keuntungan dari over-investasi ini, wajar saja jika mereka menjadi bagian dari solusi dalam mendukung transisi energi Indonesia," kata mereka.

Jika semua pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri dengan penyertaan modal Tiongkok dan pengaturan konstruksi, baik dalam pembangunan atau perencanaan dibatalkan, sekitar 646 juta ton emisi karbon dioksida tahunan dapat dihindari, menurut para peneliti di Pusat Kebijakan Pengembangan Global Universitas Boston. Itu lebih dari emisi tahunan Jerman, penghasil emisi terbesar ketujuh di dunia.

"Bekerja sama dengan negara tuan rumah, pemodal Tiongkok dan perusahaan di luar negeri harus memberikan peluang untuk transisi, terutama ke energi terbarukan," kata peneliti pusat Cecilia Springer dan Xinyue Ma dalam sebuah laporan bulan lalu.

"Pembiayaan Tiongkok untuk proyek pembangkit listrik terbarukan di luar negeri meningkat lebih dari empat kali lipat antara tahun 2005 dan pertengahan 2019," kata mereka.

Indonesia, yang 70 persen listriknya bergantung pada batu bara, akan mengenakan pajak rendah karbon 30 ribu rupiah atau 2,1 dollar AS per ton pada April, menjelang rencana untuk mengamanatkan perdagangan kuota emisi untuk pembangkit listrik tenaga batu bara pada tahun 2025.

Presiden Joko Widodo berjanji pada bulan Mei untuk menghentikan penambahan pembangkit listrik tenaga batu bara baru di luar yang telah dibiayai dan sedang dibangun. Selain bantuan asing, pemerintah Indonesia juga perlu mengalihkan subsidinya dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, meningkatkan jaringan listriknya untuk memfasilitasi penyerapan energi terbarukan yang terputus-putus dan meminjam lebih banyak untuk mendanai dekarbonisasi, kata Richter dari Horasis.

Baca Juga: