JAKARTA- Negara-negara Uni Eropa akan kembali memberlakukan regulasi yang dikenal dengan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang ditargetkan akan efektif pada awal 2025. Regulasi tersebut dinilai akan berdampak pada ekspor komoditas Indonesia ke salah satu pasar tujuan utama karena aturan tersebut akan mengatur sejumlah syarat dan ketentuan satu barang/komoditas bisa masuk ke sana.
Pemerintah dan dunia usaha khususnya eksportir komoditas pun dituntut untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terkait sertifikasi agar komoditas yang diekspor ke negara-negara Eropa tidak mengalami hambatan.
Demikian kesimpulan acara Sustainability MeetUp bertajuk "Tantangan dan Peluang EUDR Bagi Praktik Bisnis Berkelanjutan" yang diselenggarakan CECT Sustainability, Universitas Trisakti Jakarta pada Rabu (18/9).
Acara yang diadakan di Gedung Rektorat Lantai 12 Universitas Trisakti itu mengangkat isu hangat mengenai implementasi EUDR dan tantangan yang dihadapi oleh berbagai sektor di Indonesia, khususnya dalam komoditas seperti minyak sawit, kayu, karet, kopi, dan kakao.
Seminar dihadiri perwakilan perusahaan, pejabat pemerintah, manajer CSR, akademisi, dan praktisi keberlanjutan. Mereka berdiskusi mengenai kesiapan sektor bisnis Indonesia dalam menghadapi regulasi EUDR yang akan mulai diberlakukan pada Januari 2025 untuk perusahaan besar dan pertengahan 2025 untuk petani skala kecil.
Rektor Universitas Trisakti, Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA dalam sambutannya mengatakan bahwa Trisakti berinisiatif menggelar acara tersebut sebagai bagian dari upaya untuk mendorong dialog dan inovasi terkait isu-isu keberlanjutan, baik di tingkat nasional maupun global.
"Universitas Trisakti juga berkomitmen untuk menjadi One Stop Learning for Sustainable Development yang berarti Universitas Trisakti menyediakan ruang untuk belajar, berdiskusi, dan berkolaborasi demi mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan," kata Kadarsah.
Dalam kesempatan itu, Staf Ahli Bidang Konektivitas, Pengembangan Jasa, dan Sumber Daya Alam Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Musdhalifah Machmud menyampaikan pandangannya tentang peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penerapan EUDR.
Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa kata Musdhalifah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) on European Union Deforestation Regulation (EUDR) untuk mengatasi berbagai hal terkait dengan pelaksanaan EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia.
"Gugus tugas dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik terkait implementasi EUDR," kata Musdhalifah.
Turut hadir, Deputi Direktur Market Transformation dari RSPO, M. Windrawan Inantha yang juga menyoroti pentingnya penelusuran rantai pasok (traceability) dalam industri sawit. Ia menyampaikan bahwa RSPO telah mengembangkan inisiatif yang memperkuat keterlacakan produk kelapa sawit, yang sejalan dengan kebijakan EUDR.
"Keterlacakan yang kuat akan meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar Eropa," kata Windrawan.
Dari pelaku industri, Kepala Bidang Keberlanjutan PT Wilmar Internasional, Pujuh Kurniawan memaparkan kesiapan perusahaan dalam menghadapi EUDR.
Pihaknya pun mengaku telah mengimplementasikan praktik keberlanjutan di perkebunannya, dan regulasi EUDR akan mendorong industri sawit untuk lebih transparan dalam rantai pasok.
Penyelarasan Regulasi
Sementara itu, ahli hukum lingkungan dari Universitas Trisakti, Amalia Zuhra SH. LLM. Ph.D, membahas bagaimana hukum dan regulasi di Indonesia dapat selaras dengan ketentuan EUDR. Penyelarasan jelas Amalia penting untuk memastikan pelaku industri (kayu, sawit dan komoditas lainnya) di Indonesia dapat mematuhi regulasi nasional dan internasional tanpa konflik, mengurangi biaya kepatuhan, dan mempermudah proses sertifikasi.
Dalam diskusi, berbagai tantangan dalam penerapan EUDR di Indonesia juga dibahas, di antaranya, keterlacakan dan transparansi rantai pasok karena EUDR menuntut tingkat keterlacakan yang tinggi, dari produksi di lahan hingga produk akhir.
Di Indonesia, tantangan besarnya terutama untuk sawit yang melibatkan banyak petani kecil independen atau small holders. Petani kecil sering tidak memiliki sertifikasi atau sistem yang memadai untuk memenuhi standar keterlacakan fisik dari lahan mereka ke konsumen Eropa.
Para pemangku kepentingan pun sepakat kalau industri perkebunan Indonesia perlu waktu untuk beradaptasi dengan regulasi baru itu. Banyak pelaku usaha belum familiar dengan persyaratan EUDR, sehingga perlu ada pelatihan dan sosialisasi yang lebih intensif.
Selain itu, terdapat perbedaan dalam standar keberlanjutan antara Indonesia dan Uni Eropa yang bisa mempersulit pelaku industri untuk mematuhi kedua regulasi secara bersamaan. Harmonisasi kebijakan dipastikan akan menjadi tantangan utama.
Pada kesempatan itu, juga membuka ruang bagi peserta untuk berbagi praktik terbaik dan membangun jaringan kolaborasi dalam menghadapi tantangan keberlanjutan. Diskusi juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan komunitas akademik untuk mendorong inovasi yang dapat membantu sektor-sektor industri Indonesia tetap kompetitif di pasar global.