Impor bahan pokok yang terus terulang menunjukkan pemerintah kurang serius membenahi pertanian.

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk tidak mengimpor komoditas bawang merah karena stok dalam negeri masih melimpah. Apalagi para petani sedang melakukan panen raya, sehingga impor bisa menghancurkan harga bawang produksi dalam negeri.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Edi Santosa, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (24/3), optimistis harga bawang merah pada saat Ramadan akan turun signifikan karena bertepatan dengan masa panen raya.

"Yang penting jangan berpikir impor karena ketersediaan bawang pasti dalam kondisi aman. Terlebih saat ini, para petani di beberapa daerah sedang melakukan panen raya," kata Edi.

Sementara itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, meminta pemerintah tidak memikirkan impor menjelang Ramadan dan Lebaran supaya tidak menyurutkan semangat petani memacu produksi.

Senada dengan Yadi, Ketua Asosiasi Champion Cabai dan Bawang Nasional, Tunov Mondro Atmojo, memastikan ketersediaan cabai di sejumlah sentra masih aman karena panen raya masih berlangsung baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan daerah lainnya.

"Puncak panen akan jatuh di bulan Puasa sampai habis Lebaran mendatang," kata Tunov.

Dihubungi terpisah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menegaskan kenaikan harga pangan beberapa waktu terakhir jangan jadi alasan pemerintah untuk membuka keran impor. Keputusan impor hanya merugikan petani yang sebentar lagi memasuki musim panen bawang merah.

Gejolak harga pangan, jelasnya, selain dipengaruhi oleh sentimen pasar global juga karena buruknya distribusi. Kondisi tersebut diperburuk dengan permainan kelompok tertentu yang mengambil keuntungan di atas kesulitan masyarakat.

"Alasan impor bawang merah mengada-ada, bukan argumentasi yang jelas dan logis. Apalagi produksi bawang merah memang melimpah," kata Said.

Pemerintah, katanya, harus menjalankan amanah untuk melindungi dan menyejahterakan petani. "Bagaimana itu terjadi, jika melakukan impor menjelang panen raya," kata Said.

Rencana impor bawang merah, tambahnya, memang tidak logis karena Indonesia sudah swasembada bawang merah sejak 2016 lalu dan dalam beberapa tahun terakhir malah rutin mengekspor ke sejumlah negara.

"Jika impor benar dilakukan dan terjadi maka hari hari ini publik makin dipertontonkan sebuah kenyataan bahwa pemerintah tidak lagi peduli petani dan kalah dari importir/pengusaha yang cari untung dari impor," katanya.

Pengaruh Liberalisasi

Penasihat Senior Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan Kemendag seharusnya menyesuaikan dengan rekomendasi Kementan sebagai penanggung jawab kecukupan produksi dalam negeri.

"Impor tidak boleh merugikan petani sebagaimana perintah undang-undang," katanya. Kalau Kementan selaku penanggung jawab produksi tidak memberi izin untuk impor maka Kemendag harus mengikuti.

Dia mengakui, kalau tata niaga produk pertanian dipengaruhi oleh upaya membangun kedaulatan pangan di satu sisi dan di sisi lain terkena dampak perdagangan bebas yang mengakibatkan liberalisasi kebijakan pertanian. Padahal negara seharusnya lebih berpihak kepada kedaulatan pangan dan hak petani.

Diminta terpisah, Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan pemerintah harus mengacu pada stok di lapangan sebelum mengambil keputusan. Impor bahan pokok yang terus terulang juga menunjukkan pemerintah kurang serius membenahi perekonomian lewat pertanian.

"Impor harus mengacu persediaan sebenarnya. Kalau memang data berbeda dengan kondisi di lapangan maka data harus dibenahi agar jangan sampai petani kembali dirugikan. Kebijakan seharusnya berpihak untuk pihak yang paling banyak menanggung risiko, dalam hal ini adalah petani," katanya.

Data sangat penting karena sebagai dasar penentu kebijakan, yang dipakai harus sesuai kenyataan. Perlu ada lembaga penyedia data yang independen bagi pemerintah supaya keputusan lebih objektif.

Baca Juga: