Judul : Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa

Penulis : Sri Wintala Achmad

Tebal : 248 Halaman

Penerbit : Araska

Cetakan : 2017

ISBN : 978-602-300-344-0

Kudeta mengancam keberlangsungan suatu pemerintahan. Pemerintahan pada masa kerajaan Jawa banyak terjadi pemberontakan, di antaranya Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, Medang periode Jawa Timur, Kadiri, Singhasari, Majapahit, Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Mataram, Kasunanan Kartasura, dan Kasunanan Surakarta.

Pemberontakan terkadang tidak memandang hubungan persaudaraan seperti dilakukan Dyah Saladu Rakai Gurunwangi (anak sulung Mpu Manuku, raja Medang periode Jawa Tengah) atas adiknya Dyah Lokapala Rakai Kayuwangi yang menggantikan posisi ayahnya sebagai raja pada 855. Dyah Lokapala dinobatkan sebagai raja karena jasanya menumpas pemberontakan Mpu Kumbhayoni.

Pengangkatan Dyah Lokapala sebagai raja memicu kecemburuan Dyah Saladu. Kemudian, Dyah Saladu mendirikan kerajaan sendiri dan memberontak terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Dyah Saladu dibantu Dyah Dewendra Rakai Limus (tokoh yang diperkirakan menguasai daerah Limus). Pemberontakan Dyah Saladu mencapai hasil gemilang. Dyah Lokapala dapat digulingkan dari takhta. Istana Medang di Mamratipura diluluhlantakkan.

Pemberontakan Dyah Saladu terhadap kekuasaan Dyah Lokala merupakan awal perang saudara di lingkup keturunan Mpu Manuku. Dari peristiwa perang saudara tersebut, dapat ditarik kesimpulan, kekuasaan atau kedudukan telah dianggap lebih penting daripada persaudaraan (Hal 40-41).

Pemberontakan juga dilakukan penduduk yang tidak ingin wilayah diambil raja lain. Misalnya, yang terjadi di Kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Dyah Gitarja atau Tribhuwana Wijayatunggadewi. Pemberontakan dilakukan penduduk Sadeng dan Keta.

Semula Sadeng dan Keta masuk dalam wilayah bawahan Majapahit timur (pembagian wilayah ini terdapat dalam Perjanjian Songeneb yang dilakukan Raja Dyah Wijaya sebagai raja di Majapahit dan Bupati Songeneb, Aria Wiraraja. Hasil perjanjian, Dyah Wijaya menjadi raja di Majapahit barat. Sementara Aria Wiraraja sebagai raja Majapahit timur.

Tribhuwana Wijayatunggadewi mengganggap penduduk Sadeng dan Keta yang tidak mau tunduk, berarti melakukan pemberontakan. Tribhuwana Wijayatunggadewi berusaha menguasai daerah tersebut, karena kedua wilayah tersebut memiliki pelabuhan potensial yang diharapkan dapat menunjang perkembangan perekonomian Majapahit.

Akhirnya, pemberontakan ini dapat ditumpas pasukan Majapahit, sehingga Majapahit timur dapat disatukan kembali dengan Majapahit barat menjadi Kerajaan Majapahit seperti semula (hal 108). Dalam pemberontakan Jawa juga melibatkan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Contohnya, pemberontakan Pangeran Puger di Kasunanan Kartasura pada masa kepemimpinan Sunan Amangkurat III.

Pangeran Puger minta dukungan VOC untuk menjadi raja di Kasunanan Kartasura. Pangeran Puger beserta pasukannya memberontak Kasunanan Kartasura didukung VOC dan Pangeran Arya Mataram. Kemudian, pecahlah Perang Suksesi Jawa I antara Sunan Amangkurat III dan Pangeran Puger pada 1704-1708.

Perang ini akhirnya mengantarkan Pangeran Puger menduduki jabatan sebagai raja di Kasunanan Kartasura (Hal 173). Dari berbagai rangkaian pemberontakan, kiranya dapat diambil pelajaran. Gerakan pemberontakan sering kali menghantui dan mengganggu stabilitas politik. Selain itu, pemberontak biasanya menggunakan berbagai cara dalam menggulingkan kekuasaan sah.

Diresensi Yatni Setianingsih, Lulusan Institut Seni Budaya Indonesia Bandung

Baca Juga: