Walau tak pernah dijajah oleh bangsa Eropa, sejumlah jejak kolonial Portugis masih bisa terlihat di Thailand yang terserap dalam bentuk bahasa, masakan, dan arsitektur di seluruh Bangkok.

Walau tak pernah dijajah oleh bangsa Eropa, sejumlah jejak kolonial Portugis masih bisa terlihat di Thailand yang terserap dalam bentuk bahasa, masakan, dan arsitektur di seluruh Bangkok.

Negeri Siam atau Thailand merupakan sebuah negara yang tidak pernah dijajah bangsa Eropa. Namun mengapa jejak-jejak kolonial seperti bangunan-bangunan dan kampung Portugis banyak dijumpai di negeri ini?

Di Kudeejeen, Bangkok, misalnya terdapat Thanusingha Bakery House, tempat lima generasi dari keluarga yang sama telah membuat kudapan Portugis seperti khanom farang kudi chin (kue orang asing).

Saat berjalan-jalan di jalan-jalan Thonburi, di tepi kanan Sungai Chao Phraya, wisatawan akan dikejutkan dengan ayam jantan Barcelos yang berwarna-warni simbol nasional Portugal dipajang dengan bangga di pintu masuk Museum Baan Kudichin. Museum ini memang didedikasikan untuk merayakan hubungan Thailand-Portugis yang telah lama terjalin.

Di sepanjang Soi Captain Bush, jalan samping yang dinamai menurut kapten laut Inggris, John Bush (1819-1905 M), terdapat kedutaan Eropa tertua di Bangkok yang dibangun pada 1860 oleh Portugis. Di sini akan ditemukan jejak pengaruh Portugis dalam bahasa Thailand, masakan Thailand, dan arsitektur kolonial di seluruh Bangkok.

Jejak-jejak Portugis di Thailand ini bermula saat Thailand dikenal sebagai Siam, dan ibukotanya dari kerajaan itu adalah Ayutthaya. Lalu seberapa jauh pengaruh Portugis terhadap negeri yang disebut tidak pernah dijajah bangsa Eropa itu?

Laman World History Encyclopedia menyebut Portugis adalah orang Eropa pertama yang melakukan kontak dengan Siam. Mereka tiba di Ayutthaya pada 1511 M. Setelah merebut pelabuhan Malaka, mereka berupaya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan orang Thailand.

Berita tentang serangan terhadap Malaka dan rumor tentang kekuatan militer Portugis telah sampai ke Raja Ramathibodi II (memerintah 1491-1529 M). Ia tidak terlalu terkejut ketika melihat sebuah kapal berlayar di Sungai Chao Phraya. Di atas kapal tersebut terdapat misi diplomatik yang dikirim Portugis dari Malaka oleh laksamana dan komandan militer Portugis Afonso de Albuquerque (1453-1515 M).

Kala itu kota pelabuhan itu merupakan negara bagian bawahan Siam. Seorang penjahit yang mampu berbahasa Melayu dan Portugis yang pernah dipenjara di Malaka, diberi tugas untuk menjalin hubungan persahabatan antara Raja Portugal dan Raja Siam.

Raja Ramathibodi II dihadiahi pedang emas dalam sarung bertahtakan berlian dan cincin rubi. Ia menerima penaklukan Malaka oleh Portugis, dan dengan demikian dimulailah serangkaian misi diplomatik dan perdagangan antara Malaka dan Ayutthaya, yang berpuncak pada penandatanganan perjanjian perdagangan antara utusan Portugis, Duarte Coelho Pereira (sekitar 1485-1554 M), dan Raja Ayutthaya.

Sebagai imbalan atas bubuk mesiu, senapan, dan saran tentang strategi militer untuk berperang melawan Kerajaan Chiang Mai (Thailand utara), Portugis diberi tanah di wilayah selatan Ayutthaya. Setelah itu pemukiman Portugis, yang dikenal sebagai Campos Portugues, telah berkembang menjadi lebih dari 3.000 penduduk pada saat Ayutthaya dijarah oleh Burma pada tahun 1767 M.

Para pengrajin dan pedagang, pendeta dan tentara, bersama dengan warga negara Portugis dan keluarga mereka yang ingin menetap di pinggiran kekaisaran Portugis di Timur (dikenal sebagai Estado da India), lalu membuat rumah mereka di tepi barat Sungai Chao Phraya.

Selama masa pemerintahan Raja Chairacha (memerintah 1534-1546 M), 120 orang Portugis bertugas sebagai pengawal kerajaan. Sementara yang lain bertugas sebagai tentara bayaran dalam perselisihan Ayutthaya yang tak ada habisnya dengan negara-negara tetangga.

Orang Portugis tidak sepenuhnya setia kepada orang Thailand. Ketika Burma menyerang Ayutthaya selama perang Burma-Siam tahun 1547-1549 M, tentara bayaran Portugis yang tergabung di tentara Siam, diserang oleh rekan senegaranya dalam kontingen tentara bayaran yang bertempur dengan Burma.

Apa yang tersisa dari Campos Portugues saat ini adalah reruntuhan Gereja San Petro dan lubang kuburan yang digali berisi kerangka pemukim Portugis yang diawetkan dan kini bisa dilihat hari ini di Taman Sejarah Ayutthaya yang berjarak 80 kilometer di utara Bangkok.

Setelah jatuhnya Ayutthaya oleh Burma, Raja Taksin (memerintah 1767-1782 M) memindahkan ibu kota sejauh 80 kilometer ke hilir ke kota garnisun Thonburi. Di sini raja tersebut mendeklarasikan Thonburi sebagai ibu kota baru.

Thonburi adalah pelabuhan bea cukai dan berlokasi strategis di tikungan Sungai Chao Phraya. Di ibu kota baru ini, Portugis diberi sebidang tanah di tepi sungai untuk memulai komunitas baru dan izin untuk membangun gereja Katolik bernama Gereja Santa Cruz atau Igreja de Santa Cruz dalam bahasa Portugis.

Warisan Budaya

Komunitas Kudeejeen di Thonburi saat ini tidak berada dalam jalur wisata yang baik. Terletak di Subdistrik Wat Kanlaya di Thonburi. Sedangkan masyarakat yang tinggal di sana saat ini sebagian besar adalah campuran umat Katolik, Muslim, dan Buddha Thailand.

Warisan budaya Portugis dapat dilihat pada fitur wajah orang Thailand yang tinggal di Kudeejeen (juga dikenal sebagai Baan Kudichin), dan berjalan menyusuri jalan-jalan dan soi (jalan kecil) sempit menuju Gereja Santa Cruz yang berwarna krem, salah satu gereja Katolik tertua di Bangkok.

Di bangunan ini akan terlihat sekilas azulejos Portugis (ubin keramik kaca tradisional) dan salib Kristen di pintu masuk dan pintu terbuka rumah-rumah jongkok di lingkungan tersebut. Gereja Santa Cruz bergaya Neoklasik Renaisans adalah jantung komunitas Kudeejeen dan cukup mengejutkan di kota yang dipenuhi kuil emas dan patung Buddha.

Gereja tersebut adalah salah satu dari sedikit sisa komunitas Portugis yang berkembang di kawasan Kudeejeen ratusan tahun lalu. Selain itu terdapat pula Museum Baan Kudichin.

Terletak di gang di Kudeejeen, museum ini berupa sebuah bangunan elegan dua lantai bergaya kolonial yang dulunya merupakan rumah sebuah keluarga Katolik. Untuk merayakan persahabatan antara Thailand dan Portugal, furnitur dan artefak bersejarah dari rumah-rumah Thailand-Portugis yang pernah ada di lingkungan tersebut hingga saat ini masih diga dan dilestarikan.

Terdapat pula sebuah kafe di lantai dasar di dalam museum di mana orang-orang dapat mencoba Sappayak Bun, roti gurih tradisional Portugis yang ditaburi asam jawa dan diisi dengan kentang, cabai, dan daging babi cincang. Masakan itu dimasak di atas tao atau pembakar arang gaya lama.

Di lantai dua terdapat pajangan yang berkaitan dengan kedatangan Portugis di Thailand dan pemukiman mereka di Ayutthaya dan Thonburi, serta peralatan kuno, peta dan ukiran, serta foto-foto sejarah. Atapnya memberikan pemandangan lingkungan Kudeejeen yang menakjubkan dengan menara Gereja Santa Cruz mendominasi lanskap.

Di Museum Baan Kudichin, akan dijumpai model plastik dari makanan dan tanaman yang diperkenalkan Portugis ke Thailand. Portugis memperkenalkan ubi jalar dari Brasil, serta singkong, pepaya, nanas, bunga matahari, kacang mete, dan cabai.

Di dinding di pintu masuk museum dan di dalam kafe, akan terlihat ayam jantan Portugis yang terkenal. Seperti banyak cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi, legenda Ayam Jantan Barcelos (Galo de Barcelos) berubah tergantung siapa yang menceritakannya. hay/I-1

Baca Juga: