Oleh Siti Nurul Hidayah
Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Tahun ini, peringatan HAN bertema Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak. Peringatan HAN bentuk kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap perlindungan anak agar berkembang secara optimal. Melalui peringatan HAN, pemerintah dan masyarakat diharapkan lebih berperan aktif melindungi anak, termasuk dari tindak kekerasan.
Kini, angka kekerasan terhadap anak masih tinggi. Kekerasan terhadap anak menurut Convention on the Rights of the Child (1989) adalah segala bentuk kekerasan fisik, psikis atau emosional, pengabaian atau pelalaian, eksploitasi dan kekerasan seksual. Data Komisi Perlindungan Anak (KPAI) sejak tahun 2011-2016 tidak kurang dari 20. 021 kasus kekerasan terhadap anak.
Pada tahun 2011, terjadi 2. 178 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah itu naik menjadi 3. 521 kasus pada tahun 2012 dan kembali naik ke angka 4. 311 di tahun 2013. Tren kenaikan memuncak pada tahun 2014 saat ada 5. 066 kasus. Setahun setelahnya, 2015 jumlah kekerasan menurun menjadi 4. 309. Lalu pada tahun 2016 menurun drastis ke angka 645 kasus.
Ditinjau dari sisi tempat kejadian, kekerasan terhadap anak paling banyak terjadi di rumah dan tempat pengasuhan, 73, 01 persen. Kemudian, di sekolah atau lembaga pendidikan 12, 05 persen. Para pelaku banyak orang tua, pengasuh, dan anggota keluarga lain (85,4) persen. Sedangkan pelaku terbanyak lainnya guru, teman, dan orang dewasa (15,02 persen).
Jenisnya, kekerasan psikis dan emosional paling sering dialami anak-anak (53,78 persen). Lalu kekerasan fisik (20,01) dan seksual (14,34). Sisanya, eksploitasi dan pengabaian. Dalam lokakarya Kementerian Sosial dan KPAI dikatakan, tingginya kekerasan terhadap anak merupakan akumulasi dari sejumlah faktor yang berjalin-kelindan dan saling mempengaruhi.
Kekerasan di lingkungan keluarga lebih sering terjadi karena ketidaksiapan orang tua membina rumah tangga dan mengasuh anak. Kondisi ini sering dialami pasangan nikah muda atau di bawah umur. Selain belum siap secara biologis melakukan proses reproduksi, pasangan nikah di bawah umur memiliki kondisi psikologis belum stabil. Kehadiran anak acapkali menimbulkan perasaan galau, gelisah, dan tertekan berkepanjangan. Kondisi ini tidak jarang berakhir dengan perilaku kekerasan anak.
Kondisi ekonomi rumah tangga yang lemah atau tidak sejahtera sebagai sebab lain. Kesejahteraan ekonomi merupakan salah satu variabel penentu kebahagiaan rumah tangga. Kondisi finansial rumah tangga mapan akan banyak berpengaruh pada corak relasi antar-anggota keluarga. Survei KPAI menemukan, hampir 80 persen kekerasan anak terjadi di keluarga miskin.
Ada juga budaya sebagian masyarakat yang kadung menganggap kekerasan sebagai salah satu cara mendidik anak. Pada sebagian masyarakat, masih berlaku model pengasuhan (parenting) yang mengedepankan kekerasan baik verbal maupun fisik seperti membentak, mencubit, bahkan memukul. Padahal, ilmu dan paradigma pengasuhan telah berkembang.
Sedangkan di luar lingkungan keluarga, kekerasan lebih banyak dilatari abainya warga terhadap hak-hak anak. Anak-anak dengan kondisi fisik lemah dan psikologis labil kerap diposisikan sebagai kelompok lemah yang tidak memiliki posisi tawar. Mereka tidak memiliki kekuatan fisik maupun posisi tawar untuk menolak atau melawan tindakan kekerasan yang menimpa dirinya.
Alhasil, kekerasan anak makin langgeng dan acapkali diabaikan. Di sekolah, sampai saat ini belum ada mekanisme khusus untuk mencegah kekerasan anak. Lebih sering, orang bersikap reaktif dalam menanggapi sebuah kasus kekerasan anak. Namun, setelahnya lupa lagi. Begitu seterusnya.
Pendekatan
Anggapan bahwa anak-anak yang berfisik lemah dan secara psikologis labil benar adanya. Namun, fakta itu idealnya tidak dijadikan alasan melakukan kekerasan. Sebaliknya, fakta itu menjadi alasan melahirkan regulasi dan sistem sosial adaptif dan sensitif pada pemenuhan hak-hak anak.
Secara sosiologis, angka kekerasan anak dapat ditekan dengan membenahi dari hulu, pernikahan. Pernikahan bermasalah umumnya akan menimbulkan berbagai macam persoalan mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau kekerasan anak.
Maka penting pasangan yang ingin menikah benar-benar siap, fisik, finansial, dan mental untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Di sinilah pentingnya penegakan aturan terkait penghapusan dan larangan menikah muda. Mahkamah Kontitusi telah memerintahkan DPR untuk merevisi aturan usia minimal menikah.
Dalam putusannya, MK mengatur batas minimal usia menikah 21 tahun. Pernikahan di bawah 21 tahun tetap diperbolehkan dengan syarat, ada izin orang tua dan usia laki-laki sudah 19 tahun, sedang perempuan minimal 16 tahun.
Tidak kalah penting memberi pendidikan berumah tangga bagi pasangan yang ingin menikah. Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi pernikahan memang telah menyelenggarakan pendidikan pranikah.
Sayangnya, lebih sering diangggap formalitas untuk memenuhi syarat administratif pernikahan, sehingga tidak menyentuh aspek-aspek subtansial berumah tangga.
Pendidikan pranikah sebaiknya diselenggarakan secara lebih serius dengan kurikulum dan materi yang mencakup aspek pengasuhan anak. Bagi suami-istri penting kiranya selalu menambah pengetahuan dan wawasan tentang mengasuh dan mendidik anak. Lantaran setiap zaman menghadirkan tantangan berbeda.
Anak-anak sekarang, ketika teknologi dan informasi semakin mudah diakses, tentu memiliki karakter berbeda dengan zaman dulu. Maka, pengetahuan dan wawasan orang tua amat menentukan. Pemerintah perlu lebih tegas dan konsisten dalam mengoptimalkan program-program perlindungan anak. Undang-undang Perlindungan Anak perlu disosialisasikan lebih kencang ke seluruh masyarakat.
Pada saat yang sama, pemerintah melalui aparat hukumnya harus memastikan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak akan mendapat hukuman maksimal. Pemerintah juga perlu mendorong para korban kekerasan untuk berani berbicara dan membawa kasusnya ke pengadilan.
Penulis bekerja di Center for the Study of Society and Transformation