Menyimpan dana di bank makin aman karena dijamin, namun harus tetap cermat. Jangan tergiur bunga terlalu tinggi karena jika begitu, tak seluruhnya dijamin LPS. Hak bank menerapkan bunga tinggi, tapi juga harus adil, masyarakat diberi informasi risikonya.
Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang resmi beroperasi mulai 22 September 2005. Kehadiran LPS sangat membantu menjaga stabilitas sistem keuangan dalam menghadapi krisis global tahun 2008 dan akibat pandemi tahun 2020. Tahun 2008, misalnya, Indonesia termasuk negara yang stabil dalam menjaga momentum pertumbuhan, meskipun banyak negara sulit keluar dari krisis. Guna melihat lebih dalam peran LPS dalam sistem perbankan nasional, wartawan Koran Jakarta, Fredrikus W Sabini, mewawancarai Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa.
Bagaimana peran LPS pascakelahiran UU PPKSK?
Semakin strategisnya peran dan fungsi LPS, pemerintah Indonesia lalu memperluas mandat LPS dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Melalui UU PPKSK tersebut, LPS mendapat mandat baru, yaitu penambahan dua metode resolusi dalam penanganan bank gagal melalui purchase and assumption dan bank perantara (Bridge Bank).
Selain itu, LPS juga turut serta berperan dalam pencegahan terjadinya krisis dalam sistem keuangan nasional melalui program restrukturisasi perbankan. Sejalan dengan perluasan mandat tersebut, pada tahun 2017, LPS melakukan transformasi dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang tersebut.
Lalu, bagaimana dengan peran LPS pascakemunculan UU Nomor 2 Tahun 2020?
Pada tahun 2020, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019, dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang. Melalui UU tersebut, LPS memiliki kewenangan baru.
Apa saja?
Pertama, melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas. Kedua, memutuskan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan Bank Selain Bank Sistemik dengan mempertimbangkan kriteria lain, selain biaya penyelamatan paling rendah. Ketiga, melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut.
Bagaimana peran LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan?
LPS bersama dengan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan selalu bersinergi. Kami bekerja keras dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang mengalami disrupsi dampak pandemi. Melalui berbagai kebijakan strategis yang dikeluarkan, akhirnya stabilitas sistem keuangan dan perbankan nasional terjaga hingga kini.
Bagaimana kondisi perbankan di masa pandemi?
Kami tegaskan kinerja perbankan nasional tetap stabil di tengah pandemi Covid-19. Dengan fundamental industri yang kuat dan berbagai bauran kebijakan KSSK, perbankan Indonesia tetap stabil. Dari sisi permodalan, perbankan nasional memiliki modal kuat dengan rasio 25,6 persen per November 2021. Sedangkan dari sisi profitabilitas, laba perbankan per November 2021 sebesar 131,2 triliun rupiah, atau meningkat 34,1 persen year on year (YoY).
Adakah alasan lain yang meyakinkan Bapak bahwa sistem perbankan masih terkendali?
Salah satunya terlihat dari jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup dalam setahun, masih dalam angka rata-rata. Dari data, umumnya BPR yang karena mismanajemen. Kami mencermati tak ada BPR yang ditutup karena dampak pandemi Covid-19. Ternyata tekanan pada perbankan selama masa pandemi masih dapat dikendalikan. Itu terlihat dari jumlah rata-rata BPR yang ditutup cenderung sama sejak tahun 2005 hingga 2021. Rata-rata 6-8 BPR. Sampai sekarang, KSSK belum menemukan sinyal seperti itu. Kalau ada sinyal itu, KSSK tentu akan mengevaluasi lagi sistem keuangan yang sedang berjalan.
Ini gejala apa?
Ini adalah pertanda baik sistem ekonomi Indonesia. Pada skala nasional 2005-2021 total simpanan yang telah kami bayarkan sebesar 1,69 triliun rupiah dari 265.797 rekening. Yang dibayarkan ke bank umum, ada 202 miliar rupiah dan untuk BPR 1,49 triliun rupiah. Kami melihat ini pertanda baik. Artinya setelah tahun 1998, sektor perbankan tidak mengalami tekanan yang sangat masif. Ini bisa jadi karena manajemen yang baik atau memang ekonomi kita baik.
Bagaimana kondisi sistem perbankan tahun ini?
Akan tetap terjaga. Pertumbuhan kredit dapat mencapai 5,1-8,9 yoy seiring dengan pemulihan aktivitas ekonomi. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan berada di kisaran 8,5-9,4 persen yoy. Bank Indonesia pun memperkirakan kredit dapat tumbuh 6-8 persen dan DPK tumbuh 7-9 persen pada tahun 2022. OJK juga optimistis, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini akan lebih tinggi dari tahun lalu.
Bagaimana proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari kaca mata LPS sendiri?
Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran angka 4,6-5,2 persen yoy pada tahun ini dan 4,7-5,3 persen yoy pada tahun depan. Berbagai lembaga internasional, seperti IMF, World Bank, OECD, dan ADB juga memperkirakan ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,6 persen yoy atau lebih pada tahun ini.
Apa ada catatannya?
Kami tetap mengingatkan masyarakat untuk tetap waspada dan mengantisipasi berbagai faktor ketidakpastian, antara lain adanya mutasi varian baru virus Covid-19 serta dinamika perekonomian negara-negara maju.
Bagaimana dengan relaksasi denda premi, apakah diperpanjang?
LPS melakukan perpanjangan kebijakan penyesuaian pengenaan sanksi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan (kebijakan relaksasi denda premi) selama dua periode pembayaran premi yaitu untuk Periode I dan II tahun ini yang berlaku bagi seluruh bank peserta penjaminan baik Bank Umum ataupun BPR.
Apa alasannya?
Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan analisis perekonomian dan keuangan. Indikator ekonomi makro dan sektor keuangan menunjukkan menuju perkembangan yang positif dalam pemulihan ekonomi. Demikian juga pemulihan fungsi intermediasi perbankan yang terus berlanjut. Hal lain yang menjadi pertimbangan, penetapan bencana non-alam, penyebaran Covid-19 belum berakhir. Lalu, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Terakhir risiko meningkatnya kasus Covid-19 akibat varian baru seperti Omicron.
Ini sebelumnya dilakukan juga?
Benar, LPS telah menetapkan kebijakan relaksasi denda premi selama tiga periode pembayaran premi. Periode II tahun 2020, periode I tahun 2021, dan periode II tahun 2021. Kebijakan relaksasi denda premi untuk periode ketiga atau Periode II tahun 2021 akan berakhir pada 31 Januari 2022. Perpanjangan kebijakan relaksasi denda premi yang dilakukan LPS melengkapi berbagai respons kebijakan yang diambil LPS dalam mitigasi dampak memburuknya stabilitas sistem perbankan karena pandemi Covid-19.
Respons kebijakan lainnya adalah relaksasi penyampaian laporan berkala, penyesuaian kewajiban penyampaian laporan Single Customer View (SCV), dan penurunan tingkat bunga penjaminan LPS. Hal ini untuk memberikan ruang penurunan biaya dana bagi perbankan agar dapat memperbaiki kinerja rentabilitasnya.
Apa yang diharapkan dengan kebijakan ini?
Dengan adanya perpanjangan kebijakan relaksasi denda premi selama dua periode, maka kebijakan relaksasi denda premi masih akan berlaku untuk dua periode selanjutnya. Maka, untuk pembayaran premi periode I tahun 2022 yang seharusnya dibayarkan paling lambat tanggal 31 Januari 2022, dapat dibayarkan sampai dengan 31 Juli 2022 dengan denda sebesar nol persen. Sedangkan untuk pembayaran premi periode II tahun 2022 yang seharusnya dibayarkan paling lambat tanggal 31 Juli 2022, dapat dibayarkan sampai dengan 31 Januari 2023, dengan denda sebesar nol persen.
LPS bersama otoritas sektor keuangan lainnya akan terus memperkuat sinergi kebijakan yang dapat memastikan ketahanan sektor keuangan tetap kuat dan stabil.
LPS baru saja bekerja sama dengan Kementerian ATR-BPN. Apa tujuannya?
Itu demi mendukung pelaksanaan tugas yang efektif di tiap-tiap instansi. LPS bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN) sepakat melaksanakan kerja sama.
Apa hubungannya dengan kementerian ini?
Dalam pelaksanaan penanganan bank, baik bank yang diselamatkan maupun bank yang dilikuidasi oleh LPS, LPS selalu terkait dengan pertanahan. Itu baik tanah yang dimiliki bank atau agunan atas kewajiban debitur bank. Atau juga tanah yang dikuasai LPS dari bank yang telah ditangani. Maka, kami memandang penting untuk berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN.
Apa perlu ada evaluasi kinerja LPS?
Saya melihat terdapat beberapa hal terkait pelayanan LPS yang masih dapat ditingkatkan, di antaranya kecepatan verifikasi nasabah dalam menentukan status simpanan. Kemudian, kualitas layanan komunikasi kepada nasabah bank yang dilikuidasi agar dapat mudah memperoleh informasi mengenai status simpanannya. BRI sebagai salah satu bank pembayar sudah menerima data kami jumlah uang nasabah yang harus dibayarkan. Nasabah tinggal datang ke BRI dengan menunjukkan identitasnya.
Peran apa yang bisa dilakukan LPS untuk membantu bank yang ditutup?
Parlemen sedang dalam proses membuat UU yang memungkinan peranan LPS di permasalahan perbankan akan makin besar baik dari likuiditas maupun solvabilitas.
Dalam hal ini, LPS dapat melakukan early intervention, termasuk penempatan dana ke perbankan yang peran LPS akan lebih luas.
Contoh, jika ada kasus BPR di mana jumlah simpanannya 29 miliar rupiah, kita bisa menghitung apakah dapat diselamatkan sebelum ditutup. Jadi jika ada bank yang statusnya Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) atau Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) kita sudah bisa mulai menghitung, apakah lebih baik diselamatkan atau ditutup. Mungkin jika biayanya sama, kami akan menyelamatkannya untuk menghindari multiplier effect-nya.
Masyarakat umumnya tergiur tawaran bunga tinggi lembaga keuangan. Apa saran LPS?
Tentu tidak ada larangan bagi bank untuk memberi cash back dan bunga tinggi kepada nasabah, termasuk melebihi tingkat bunga penjaminan LPS. Tetapi, nasabah yang bersangkutan harus memahami risikonya. Kami memahami bahwa ada bank-bank yang memberikan special rate, terutama bank digital yang sedang tren saat ini. Mereka memberikan insentif bagus untuk menarik calon nasabah. Ini sah saja. Tetapi, kami minta kepada bank-bank tersebut agar ada fairness. Bank harus memberi informasi yang jelas bagi para nasabahnya bahwa simpanan tersebut tidak dijamin LPS seluruhnya.
Apa saran LPS kepada nasabah?
Sebaiknya nasabah tidak tergiur bunga sangat tinggi. Sebab, idealnya agar efisien dan dijamin oleh LPS maka bunga yang diberikan tidak terlalu tinggi. Karena bank digital ini adalah bank umum, maka dijamin LPS. Sebab semua bank dijamin PS.
Agar simpanan dijamin LPS, ada syarat yang harus dipenuhi yang dikenal dengan 3T. Pertama, tercatat pada pembukuan bank. Kedua, tingkat bunga simpanan tidak melebihi bunga penjaminan LPS. Ketiga, tidak menyebabkan menjadi bank gagal.
Bagaimana dengan aplikasi SCV?
Iya, aplikasi Single Customer View (SCV) akan diluncurkan. Fungsinya untuk mempercepat pembayaran nasabah serta pengelolaan pelaporan oleh bank. Pertanyaannya, apakah ada insentif untuk pelaporan tersebut? Tujuan SCV adalah mempercepat proses rekonsiliasi dan verifikasi dengan target bank umum sekitar tujuh hari. Sedangkan untuk insentif SCV belum ada. Ini akan dipertimbangkan untuk memotivasi perbankan agar dapat tertib menjalankan SCV. SCV adalah informasi menyeluruh tentang simpanan dan pinjaman setiap nasabah di satu bank, juga mengenai nilai simpanan yang dapat dijamin sesuai dengan ketentuan program penjaminan simpanan.
Jadi, aman menyimpan uang di bank?
Kami menjamin sistem perbankan saat pandemi aman terkendali. Masyarakat tidak perlu khawatir untuk menyimpan uangnya di bank karena dijamin oleh LPS.