Kita harus menghormati usul dari pemerintah Turki. Terlepas kelebihan dan kekurangannya, Mustafa Kemal Ataturk adalah founding father Turki yang dihormati rakyat Turki, termasuk Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan.
Penggunaan nama-nama tokoh luar negeri menjadi nama jalan di Indonesia bukan hal baru. Di Jakarta, Surabaya, Medan, dan terlebih di Bandung sejak lama sudah ada nama jalan dari tokoh luar negeri.
Nama mereka diabadikan sebagai nama jalan karena jasanya yang begitu besar terhadap kemanusiaan.
Di Jakarta, dulu tokoh pergerakan rakyat Kongo saat merdeka dari jajahan Belgia pada Juni 1960, Patrice Lumumba yang namanya dijadikan nama jalan di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat. Patrice Lumumba patut dikenang karena dia simbol perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Sayang nama Jalan Lumumba di Jakarta sekarang berganti nama menjadi Jalan Angkasa. Namun di Surabaya, Medan, dan Padangsidempuan masih bisa kita jumpai nama jalan Lumumba.
Di Bandung, tokoh luar negeri yang dijadikan nama jalan lebih banyak lagi. Dari Eyckman, penemu thiamine atau Vitamin B1 dan juga peraih Nobel Kedokteran 1929. Kemudian Nyland penemu vaksin kolera.
Ada Rontgen, penemu sinar X yang memberi kontribusi besar bagi dunia kedoteran. Ada juga Boscha, pendiri peneropong bintang di Lembang yang kini dikenal sebaga observatorium Bosscha. Dan tak lupa Pasteur, nama lengkapnya Louis Pasteur, penemu vaksin rabies dan antrax.
Nama tokoh-tokoh Indonesia juga banyak menjadi nama jalan atau nama lainnya di luar negeri. Nama Presiden pertama RI, Soekarno tercatat paling banyak, ini tak lepas dari Konferensi Asia Afrika yang memberi kesan sangat mendalam terhadap Soekarno. Di Rabat, Maroko ada jalan bernama Ir Sukarno, di Kairo, Mesir adan jalan yang bernama Ahmed Sokarno, dan juga Soekarno Road di Peshawar, Pakistan.
Di luar nama Soekarno, nama-nama tokoh Indonesia yang diabadikan dalam nama jalan adalah proklamator sekaligus wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta. Ada juga tokoh emansipasi wanita RA Kartini, tokoh Hak Asasi Manusia Moenir, dan juga mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Selain untuk mengenang jasanya terhadap kemanusiaan, tidak jarang penggunaan nama-nama orang asing di suatu negara juga terjadi karena persahabatan antarkota dua negara, biasanya disebut dengan sister city. Biasanya bersifat resiprokal, seperti yang terjadi antara Kota Seoul di Korea Selatan dan Kota Teheran di Iran.
Di Seoul ada Teheran-ro (Teheran Boulevard) yang membentang di Distrik Gangnam, kawasan elite di Seoul. Teheran-ro juga dikenal dengan sebutan Teheran Valley, merujuk pada Silicon Valley karena begitu banyaknya perusahaan berbasis teknologi informasi yang berkantor di jalan sepanjang 3,5 kilo meter tersebut. Begiu sebaliknya, di Teheran ada Seoul Street.
Dan sekarang yang sedang ramai diberitakan adalah rencana mengganti nama salah satu jalan di Ankara, ibu kota Turki dengan nama proklamator RI, Soekarno. KBRI di Ankara mengusulkan nama Jalan Ahmed Soekarno untuk mengganti nama Jalan Holland yang berada di depan gedungnya. Sedangkan Kedutaan Besar Turki di Jakarta mengusulkan nama Mustafa Kemal Ataturk, founding fathers Turki untuk mengganti salah satu nama jalan di Jakarta.
Otoritas Turki sudah memberi "lampu hijau" pemberian nama jalan Ahmed Soekarno. Namun sebaliknya, usul nama Musatafa Kemal Ataturk menjadi nama jalan di Jakarta menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang tidak setuju beranggapan bahwa Mustafa Kemal Ataturk adalah tokoh sekuler yang menjauhkan rakyat Turki dari agama.
Sedangkan yang setuju beralasan, kita harus menghormati usul dari pemerintah Turki. Terlepas kelebihan dan kekurangannya, Mustafa Kemal Ataturk adalah founding fathers Turki yang dihormati rakyat Turki, termasuk Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan.
Jika polemik berkepanjangan, tidak ada salahnya kita meniru persahabatan yang sudah terjalin antara Korea Selatan dan Iran. Pengunaan nama jalan di kedua negara dengan menggunakan nama ibukota masing-masing negara. Ada nama Jalan Jakarta di Ankara dan ada nama Jalan Ankara di Jakarta.