JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus AT Napitupulu menilai jaksa sejauh ini kurang maksimal dalam menerapkan asas oportunitas yang secara eksklusif sebagai kewenangannya. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam sepanjang 2020 ditemukan banyak kasus pidana ringan maupun kasus-kasus lain yang semestinya tidak layak untuk disidangkan.

"Sehingga mendapat banyak perhatian publik karena dirasa mencederai rasa keadilan," kata Erasmus, di Jakarta, Minggu (26/7).

Dia mencontohkan, misalnya, bagaimana penerapan Pasal-pasal UU ITE seharusnya tetap merujuk pada delik-delik di KUHP. Jika dilihat dari segi pendalaman ilmu hukum, jaksa secara umum harusnya menjadi ahli hukum yang memahami aspek penting dari penerapan hukum yang sejalan dengan kaidah hukum pidana. Oleh karena itu, ketika jaksa secara aktif mampu memimpin jalannya pengembangan perkara sejak awal, praktik-praktik penerapan pasal pidana yang keliru tersebut mestinya dapat diminimalisir.

"Misalnya dalam kasus UU ITE sejenis Baiq Nuril di PN Mataram, jaksa harus mampu menilai bahwa praktik penyidikan yang menjadikan Baiq Nuril tersangka dalam tataran norma tidak tepat. Pasal 27 ayat (1) UU ITE harusnya tidak dapat diterapkan padanya, terlebih dalam posisi Baiq Nuril sebagai korban kekerasan seksual dari atasannya," kata dia.

Selain itu, kata dia, pada awal tahun 2020 terdapat kasus Kakek Samirin yang dituntut ke persidangan karena mengambil getah rambung seberat 1,9 Kg yang nilainya hanya setara dengan 17.480 rupiah. Kemudian pada bulan Juni 2020 kembali muncul kasus pencurian ringan tiga buah tandan buah sawit senilai 76.500 rupiah oleh seorang ibu tiga anak yang didorong karena kebutuhan untuk memberi makan anak-anaknya. "Tidak terkecuali, dalam masa pandemi," katanya.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kata Erasmus, terdapat pula kasus-kasus pelanggaran terhadap ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang seharusnya masuk dalam ranah administrasi tapi dituntut secara pidana. Lalu yang paling terakhir mencuat konflik individu terkait penagihan hutang melalui sosial media instagram yang berujung pada penuntutan pidana.

"Tidak hanya pada 2020 ini, pada Juli 2018 lalu pun terdapat kasus WA di Muara Bulian, Jambi. WA merupakan korban perkosaan, mengalami kehamilan yang harus melahirkan secara tidak aman, namun ia justru sempat diputus bersalah di tingkat PN dengan tuduhan melakukan aborsi, padahal jika jaksa penuntut umum memaksimalkan jalannya asas oportunitas-nya, maka tidak ada kepentingan mempidana korban perkosaan, persis seperti apa yang diputuskan PT Jambi yang melepaskan WA dan dikuatkan juga oleh Mahkamah Agung," urainya. ags/N-3

Baca Juga: