Pemprov harus tegas menyikapi persoalan Jakarta ­tenggelam. Jangan hanya mau mengambil hasil pajak, tetapi tidak memikirkan dampak ­lingkungannya.

JAKARTA - Masyarakat diingatkan untuk berhati-hati mengekstraksi air tanah Jakarta karena tindakan tersebut akan menurunkan muka tanah. Semua diminta untuk berhenti mengambil air tanah Jakarta. Pengurus Lembaga Penanggulangan Bencana Indonesia (LPBI) Nahdlatul Ulama (NU), Arief Rosyid Hasan, mengajak seluruh warga "Nahdliyin" berikhtiar mengatasi penurunan muka tanah Jakarta. Mereka harus menjadi pelopor.

"Penurunan muka tanah Jakarta didominasi ekstraksi berlebih air tanah. Siapa yang tutup mata pada masalah alam dan lingkungan di depan mata, sama dengan menyiapkan generasi anak cucu untuk sengsara," katanya di Jakarta, Sabtu.

Pernyataan itu disampaikan Arief dalam forum diskusi Pro dan Kontra Pergub DKI Jakarta No 93 Tahun 2021 Zona Bebas Air Tanah, bertempat di Kantor PWNU DKI Jakarta.

Doktor dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu memaparkan data Kementerian PUPR bahwa awal tahun ini land subsidence atau penurunan muka tanah Jakarta didominasi ekstraksi berlebih air tanah. "Bukan hanya itu, Kementerian PUPR juga menyebutkan Jakarta mengalami penurunan muka tanah 12-18 cm per tahun," katanya.

Jika kondisi ini dibiarkan, kata dia, diprediksi beberapa wilayah pesisir Jakarta akan tenggelam pada tahun 2050. Dia menyebutkan, di antaranya Kamal Muara (di bawah 3 meter), Tanjungan (di bawah 2,10 meter), Pluit (di bawah 4,35 meter), Gunung Sahari (di bawah 2,9 meter), Ancol (di bawah 1,7 meter), Marunda (di bawah 1,3 meter), dan Cilincing (di bawah 1 meter).

Arief berharap kegiatan itu dapat membangun kesadaran publik bahwa masalah air yang krusial di Ibu Kota dapat berdampak tenggelamnya Jakarta. "Saya mengajak seluruh warga Nahdliyin ikut menjaga air tanah bersama LPBI NU DKI. Jika kita diam, Jakarta akan tenggelam," katanya.

Dalam agenda yang sama, anggota DPRD DKI Jakarta, Syarif, mengkritikPeraturan Gubernur No 93. Dia usul Pergub itu harus diubah total untuk merespons penurunan muka tanah Jakarta. "Pergub tersebut tidak ada partisipasi masyarakat. Maka, harus dicabut dan dikeluarkan Pergub baru. Sebab, penggunaan air di Jakarta lebih banyak untuk kepentingan komersil," katanya.

Menurut Syarif, penggunaan air tanah secara berlebihan sangat berbahaya untuk Jakarta. Ketua LPBI NU DKI Jakarta, Laode Kamaludin, menambahkan, Pasal 2 Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah mengandung banyak aturan. Dia memberi contoh, aturan tersebut menyangkut pengambilan air tanah untuk keperluan air minum, rumah tangga, industri, peternakan, pertanian, irigasi pertambangan, usaha perkotaan dewatering, dan untuk kepentingan lainnya.

Menurut dia, ketentuan itu harus segera direvisi mengingat Jakarta bukan daerah pertambangan, melainkan daerah indrustri dan usaha perkotaan. Menurutnya, tidak ada kompromi bagi para pelaku usaha dan industri yang berdomisili di Jakarta. Semua wajib berhenti memakai air tanah.

"Pemda DKI Jakarta harus tegas dalam menyikapi persoalan Jakarta tenggelam. Jangan hanya mau mengambil hasil pajak, akan tetapi tidak memikirkan dampak lingkungannya," demikian Laode Kamaludin.

Baca Juga: