Pengelola layanan jasa keuangan sebaiknya tak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga melakukan pengelolaan risiko demi keamanan dana masyarakat.

JAKARTA - Pelaku usaha sektor keuangan dan lembaga keuangan harus serius menjaga stabilitas sektor keuangan kondisi makroekonomi secara keseluruhan. Tujuannya demi menjaga kepercayaan para nasabah atau konsumen.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, menekankan stabilitas sektor keuangan dan perbankan perlu terus dijaga, termasuk oleh pelaku usaha di sektor jasa keuangan. "Perlu dijaga agar mereka bisa beroperasi dengan baik, tanpa ada kendala seperti apa yang misalnya dihadapi oleh Bank Syariah Indonesia (BSI) beberapa waktu lalu," tandasnya di Jakarta, Selasa (20/6), merespons peringatan dari Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, sebelumnya terhadap sektor perbankan.

Secara terpisah, pengamat ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan pelaku usaha sektor keuangan harus menjaga kepercayaan publik atas pasar keuangan. Hal ini berkaitan dengan manajemen yang baik oleh perusahaan.

"Artinya, pengelola tidak hanya berorientasi keuntungan semata, namun juga melakukan pengelolaan risiko demi keamanan dana masyarakat," ungkapnya.

Pada saat bersamaan, menurutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mampu membuat rambu-rambu peraturan untuk menekan dan memitigasi risiko ketika terjadi kegagalan pengelolaan. Efektivitas pengawasan dan penegakan peraturan juga perlu dilakukan secara serius. "Terakhir, menjaga risiko politik ikut menambah kepercayaan publik," ucapnya.

Bisnis Kepercayaan

Seperti diketahui, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta pelaku sektor keuangan betul-betul menjaga kepercayaan publik karena bisnis keuangan merupakan bisnis kepercayaan yang sangat vital terhadap perekonomian nasional. Hal itu menjadi salah satu pesan Wapres kepada pelaku sektor keuangan yang disampaikan dalam acara Peresmian Pencatatan Perdana Efek Beragun Aset Syariah Berbentuk Surat Partisipasi Sarana Multigriya Finansial - Bank Syariah Indonesia, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin.

Pelaku sektor keuangan termasuk otoritas pengawas dan seluruh pihak yang terlibat dituntut untuk memiliki standar pengetahuan, profesionalitas, serta moral etika yang tinggi dalam pengelolaan sektor keuangan. Wapres juga mendorong pelaku sektor keuangan memperkuat prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sektor keuangan serta menghindari instrumen produk berisiko tinggi sehingga dapat menimbulkan gagal bayar, seperti pada kasus kredit perumahan di Amerika Serikat (AS) yang memicu krisis ekonomi global pada 2008.

Alternatif Pembiayaan

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Reza Yamora Siregar, mengatakan sektor keuangan Indonesia harus bisa mencapai 300 persen dari produk domestik bruto (PDB) agar ketahanan RI bisa lebih kuat ke depannya. Pada akhir 2020, sektor keuangan domestik hanya mencapai 120 persen dari PDB yang sebesar 1,3 triliun dollar AS.

"Indonesia dengan PDB per kapita sebesar 22 ribu dollar AS, ukuran ideal sektor keuangan yang harus dimiliki jumlahnya sekurang-kurangnya 300 persen atau lebih dari PDB nominal," ucap Reza dalam acara Maybank Invest Asean 2023, yang dipantau secara virtual di Jakarta, Selasa (20/6).

Menurut Reza, sektor keuangan perlu diperdalam agar sebuah negara tidak hanya mengandalkan investasi asing langsung. Sebuah pemerintahan tidak akan berkelanjutan dan stabil kecuali memiliki kapasitas pembiayaan sendiri. Apalagi, beberapa investasi asing bersifat sesuatu yang harus dibayar kembali sebagai utang luar negeri.

Baca Juga: