Judul : Islam, Negara dan Masa Depan Ideologi Politik
Penulis : Dr Abdul Chalik
Tebal : xviii + 310 halaman
Cetakan : Juni, 2017
Penerbit : Mitra Pustaka
ISBN : 978-602-229-748-2
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam memang tidak ada habisnya diperbincangkan, bahkan selalu relevan. Ada beberapa alasan isu tersebut tetap hangat didiskusikan. Pandangan bahwa kajian tentang politik senilai dengan kajian hudud, qisas, ibadah, faraid, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dalam studi keagamaan.
Berbagai desakan untuk kembali pada ajaran dan praktik klasik, dalam kehidupan kenegaraan yang dipandang era keemasan praktik perpolitikan. Pada saat bersamaan, praktik demokrasi barat di berbagai negara mayoritas muslim justru melahirkan instabilitas dan ketidaknyamanan karena dianggap prematur. Dia juga dipandang bertentangan dengan tradisi yang sudah lama dibangun penduduk setempat. Demokrasi kemudian melahirkan hegemoni dan pemaksaan negara-negara tertentu yang dianggap terlalu vulgar dalam mempraktikkan demokrasi dalam kehidupan bernegara.
Pada saat bersamaan pula, di beberapa Perguruan Tinggi Islam, kajian Islam politik dan politik Islam mendapat ruang sangat luas. Hal itu ditandai dengan banyaknya IAIN/UIN yang membuka program Studi Politik Islam. Buku ini semakin menemukan momentumnya ketika tidak sedikit orang secara terang-terangan mengampanyekan khilafah dan menolak prinsip demokrasi.
Sampai hari ini, khalifah dan khilafah terus didengungkan banyak organisasi keagamaan dunia seperti ISIS. Namun sayang, institusi ini telah dicederai gerakan kelompok-kelompok semacam ISIS untuk memaksakan kehendaknya dengan cara kekerasan (hlm 294).
Pada masa nabi, khalifah sejatinya memiliki semangat sama dengan sistem demokrasi, yakni pemberian ruang publik yang luas bagi kelangsungan berbangsa-bernegara. Khalifah adalah pelaksana undang-undang. Sementara itu, rakyat melalui parlemen menentukan arah UU sesuai dengan semangat etik agama (hlm 293).
Namun, kekhalifahan ideal tersebut telah memudar sejak Muawiyah berkuasa (+661-680). Seluruh jabatan strategis diisi kerabat sehingga memungkinkan baginya memerintah tanpa batas dan bergerak tanpa kontrol. Ketiadaan kontrol inilah membuat Muawiyah harus tunduk pada ambisi pribadi dan keluarga. Kekhalifahan berdasarkan musyawarah ini kemudian benar-benar berakhir setelah penunjukan Yazid menjadi khalifah menggantikan ayahnya, Muawiyah (hlm 82-84).
Pergantian kekuasaan dengan sistem warisan atau turun-temurun ini menjadikan fungsi khalifah mengalami pergeseran. Khalifah yang semula sebagai wakil nabi dalam meneruskan perjuangan Islam, kini menjadi "wakil" Allah. Gelar ini semata-mata untuk mencari legalitas kedaulatan dan mendapat legitimasi masyarakat (hlm 84).
Dalam konteks Indonesia, beban sejarah tersebut melahirkan berbagai alternatif dalam politik Islam. Salah satunya ideologi Islam Nusantara, yakni ajaran Islam yang bercorak keindonesiaan dengan tradisi lokalitas yang kuat. Dia menampilkan ajaran Islam yang ramah, toleran, dan menjunjung tinggi sifat asasi manusia.
Diresensi Irham Sya'roni, Mahasiswa Program Pascasarjana UII Yogyakarta