Oleh Supartono JW

Polemik tentang wacana impor guru yang mengemuka dan ditanggapi oleh individu maupun lembaga akhirnya diluruskan pemberitaannya oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani. Dia mengatakan pengajar dari luar negeri akan diundang ke Indonesia dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Guru-guru yang diundang akan memberikan pelatihan. Mereka juga akan diberikan kesempatan mengajar untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM).

Menteri Puan menambahkan bahwa rencana tersebut masih dalam kajian dan masih harus dicari guru dari negara mana saja yang cocok untuk Indonesia. Puan juga masih berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, juga Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian agar memiliki sinergi.

Atas penjelasan Menteri Puan, masalah impor guru yang terus menuai kontroversi karena guru dari luar negeri, dianggap akan menggantikan peran guru mengajar di kelas memang berbeda dari pernyataan sebelumnya. Ketika itu di tengah diskusi Musrenbangnas di Jakarta, Kamis, 9 Mei 2019, Menteri Puan mengtakan akan mengajak guru dari luar negeri untuk mengajari ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia. Bahkan, masalah kendala bahasa bagi guru asing akan disediakan banyak penerjemah serta perlengkapan alih bahasa.

Pernyataan Menteri Puan tanggal 9 Mei 2019 dan 14 Mei 2019 memang berbeda makna. Sampai-sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, turut menjelaskan maksudnya, yaitu guru yang didatangkan dari luar negeri bertujuan melatih guru-guru dan instruktur yang ada di dalam negeri. Ini dilakukan untuk meningkatkan kemahiran instruktur atau guru Indonesia. Juga bisa lebih efisien dari pada mengirim instruktur atau guru Indonesia ke luar negeri.

Menurut Mendikbud Muhadjir, instruktur luar negeri itu tidak hanya untuk sekolah. Mereka juga akan disalurkan ke lembaga pelatihan yang berada di kementerian lain, misalnya Balai Latihan Kerja atau BLK.

Atas ide dan rencana yang dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy serta berkolaborasi dengan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Pertanian dan Menteri Perindustrian, maka rencana menghadirkan instruktur Training of Trainer (TOT) bagi guru menjadi alternatif solusi memerangi kondisi dan keberadaan guru di Indonesia. Bila perlu bukan hanya guru, dosen pun perlu TOT dari instruktur luar negeri.

Realitas di lapangan hingga kini, kehadiran guru dalam kegiatan Belajar mengajar (KBM) memang masih banyak menjadi keluhan. Bahkan orangtua lebih percaya kepada lembaga-lembaga kursus/bimbingan belajar (Bimbel) untuk kesuksesan belajar putra-putrinya demi naik kelas atau menembus sekolah dan perguruan tinggi yang diidamkan. Bimbel yang awalnya hanya membantu menyiapkan siswa kelas 6 SD/9 SMP/12 SMA untuk menghadapi ujian, ternyata kini bahkan membuka Bimbel dari kelas rendah.

Bila ada penelitian, barangkali akan ditemukan fakta bahwa guru semakin tidak punya tantangan mengajar dan mendidik di dalam kelas, karena di luar kelas, orangtua sudah menambahkan jam belajarnya di lembaga bimbel.

Pertanyaanya, bagaimana guru akan dapat terlecut melakukan inovasi pembelajaran bila apa yang diajarkan di kelas terbatas mengikuti petunjuk kurikulum, lalu syarat administrasi mengajar terpenuhi, mendapatkan tunjangan sertifikasi guru, namun konsentrasi terhadap keberhasilan pembelajaran dan pendidikan peserta didik terabaikan.

Kini begitu banyak guru yang lahir bukan dari kawah candradimukanya guru, yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Begitu mudah untuk setiap lulusan diploma atau universitas menjadi guru, meski tidak memilki bekal pedagogis sebagai calon guru. Guru-guru yang sudah terlanjur menjadi pegawai negeri sipil (PNS), banyak yang sekadar memenuhi tanggungjawab administrasi dan kehadiran mengajar, gaji, tunjangan, dan sertifikasi terus naik, namun tidak seimbang dengan kualitas pekerjaan. Sementara guru-guru swasta dan honorer berjibaku keras agar tetap bertahan menjadi guru. Semuanya menjadi pusaran yang memprihatinkan, sebab sudah mengabaikan sendi profesionalisme.

Jelas sekali bahwa selama ini, kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru. Jangankan guru-guru kita telah siap dalam era Revolusi Industri 4.0. berada dalam era milenieal saja terus tergopoh-gopoh.

Revolusi Guru

Untuk itu, dalam menghadapi tantangan pendidikan, kesadaran atas memprihatinkannya profesionalisme guru di Indonesia, sejatinya bukan hanya diperlukan instruktur luar negeri untuk melatih guru-guru kita, namun harus ada tindakan tegas, seperti revolusi guru.

Bila pemerintah berpikir dan akhirnya benar mengimpor instruktur TOT untuk guru-guru atau dosen kita, artinya sebenarnya pemerintah yang terdiri dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy serta berkolaborasi dengan Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Pertanian dan Menteri Perindustrian, sedang menggunting benang kusut.

Kusutnya dunia pendidikan kita, aktor utamanya adalah masih banyaknya guru-guru kita yang jauh dari harapan tentang kompetensi guru. Kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesionalisme guru yang jauh dari harapan dapat dilihat dari bukti hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) setiap tahun. Namun, meski hasil UKG jauh dari harapan, guru-guru PNS khususnya masih rileks, karena ternina bobokan oleh bantuan kehadiran Bimbel, pun gaji, tunjangan, dan sertifikasi guru juga terus mengalir tidak pernah turun.

Dengan demikian siapa biang keladi dari benang kusut pendidikan kita? Apakah individu gurunya atau lembaga/ universitas penghasil guru yang tidak memiliki kemampuan. Pemerintah seharusnya tidak boleh bertindak gegabah, terlebih pendidikan ini adalah pondasi kecerdasan dan kemajuan bangsa.

Mengimpor intruktur untuk guru/dosen tidak pernah akan menyelesaikan masalah. Tindakannya harus kompreshensif. Tidak bisa sepenggal-penggal, tidak potong kompas, apalagi melakukan tindakan instan. Analisis keberadaan lembaga atau universitas penghasil guru saat ini, bagaimana SDMnya, program dan kurikulumnya dan sebagainya.

Di samping itu, tumpang tindihnya berbagai stakeholder pendidikan kita, seharunya menjadi prioritas untuk penanganan, karena merekalah akar masalah mengapa guru yang dihasilkan terus dari jauh harapan kompetensi yang distandarkan.

Pendidikan kita butuh revolusi, bukan perbaikan tambal sulam, bukan menggunting benang kusut, namun memang harus diurut sesuai alur perjalanan dan prosesnya. Sebab, sekadar impor instrukutur untuk gurupun tidak pernah akan menyelesaikan masalah. Ayo cerdas, kreatif, dan inovatiflah bila mau anak bangsa dan negara ini cerdas dan maju. Penulis pengamat pendidikan dan sosial

Baca Juga: