ISTANBUL - Organisasi Internasional untuk Migrasi atau International Organization for Migration (IOM) mencatat lebih dari 2,2 juta orang telah mengungsi sejak konflik meletus antara tentara Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada pertengahan April 2023.

Dalam pernyataannya yang dirilis Rabu (14/6), IOM mengatakan sebanyak 1.670.991 orang mengungsi di dalam negeri Sudan dan 528.147 orang melarikan diri ke negara tetangga.

"Proporsi tertinggi pengungsi internal telah diamati di Darfur Barat (16,95 persen), Sungai Nil (14,12 persen), Nil Putih (13,56 persen), dan negara bagian Utara (11,32 persen)," kata IOM.

Badan migrasi PBB itu menyatakan mayoritas orang yang mengungsi dari negara bagian Khartoum (64,45 persen), Darfur Barat (17,19 persen), Darfur Selatan (8,54 persen), Darfur Tengah (5,49 persen), Darfur Utara (3,04 persen), Kordofan Utara (0,26 persen) , dan Al-Jazirah (0,03 persen).

Menurut organisasi itu, sedikitnya 205.565 penduduk telah melarikan diri ke Mesir, 149.383 orang ke Chad, 110.980 orang ke Sudan Selatan, 45.605 orang ke Ethiopia, 15.219 orang ke Republik Afrika Tengah, dan 1.395 orang ke Libya.

Menurut petugas medis setempat, sedikitnya 958 warga sipil tewas dan 4.746 orang lainnya terluka dalam bentrokan antara tentara dan RSF.

Perjanjian Transisi

Konflik di Sudan dipicu ketidaksepakatan selama beberapa bulan terakhir di antara kedua pihak tentang integrasi RSF ke angkatan bersenjata Sudan, yang menjadi syarat utama dari perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai kudeta.

Masa transisi, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilu pada awal 2024.

Sementara itu, Panglima Militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan komandan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), Mohamed Hamdan Dagalo, bersepakat untuk menggelar pertemuan dalam dua pekan mendatang.

"Kami setuju dengan para mediator untuk mengadakan pertemuan antara al-Burhan dan Hemedti dalam dua minggu ke depan," kata wakil ketua Dewan Kedaulatan Sudan, Malik Agar kepada televisi Al Jazeera.

Dia mengatakan pertemuan kedua jenderal yang berseteru itu akan membahas gencatan senjata dan akses untuk bantuan kemanusiaan. Namun, Agar tidak menjelaskan lebih lanjut tentang rencana pertemuan itu.

Pada Senin (12/6), Presiden Kenya, William Ruto, mengatakan negaranya berkomitmen untuk mempertemukan al-Burhan dan Hemedti dalam upaya mengakhiri konflik di Sudan. Menurut Agar, al-Burhan mengatakan dia bersedia bernegosiasi untuk mengakhiri konflik. "Dia tidak memiliki syarat untuk memulai perundingan," kata Agar.

Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, adalah wakil pemimpin Dewan Kedaulatan Transisi, sebelum dipecat oleh al-Burhan di tengah ketegangan atas integrasi kelompok paramiliter ke dalam angkatan bersenjata.

Integrasi paramiliter ke dalam angkatan bersenjata Sudan adalah syarat utama perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan mengumumkan keadaan darurat, yang oleh kekuatan-kekuatan politik disebut sebagai kudeta.

Baca Juga: