JAKARTA - Penerbitan High Yield Promissory Notes (HYPN) yang dilakukan oleh PT IndoSterling Optima Investa (IOI) merupakan surat sanggup bayar yang dilakukan melalui mekanisme perjanjian atau kontrak dengan hubungan keperdataan.
Promissory notes dinilai juga termasuk ke dalam commercial paper atau perjanjian atau kesepakatan yang diatur di dalam Pasal 174-177 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Selain itu, berdasarkan pendapat ahli di persidangan antara lain Yunus Husein, Biena, M Rizky Aldila, dan Jonker Sihombing, bahwa HYPN ini merupakan promissory note yang berupa surat utang, sehingga tidak diperlukan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam penerbitannya.
Penjelasan ini menjadi penegasan dalam pembacaan nota pembelaan (pleidoi) dalam persidangan dengan terdakwa Sean William Henley dalam perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibacakan oleh kuasa hukum Hasbullah, Rabu (8/12).
"Pomisorry note merupakan salah satu alternatif sebagai pembiayaan dana untuk operasional perusahaan di mana pihak perusahaan bisa mendapatkan pembiayaan dana dari sumber selain bank. Sumber dana yang diberikan oleh individu ataupun perusahaan bersedia sebagai pemegang promisorry notes sebagai persyaratan yang telah disepakati," kata Hasbullah dikutip, Jumat (10/12).
Hasbullah mengatakan, dakwaan dan tuntutan yang diajukan pihak Jaksa Penuntut Umum kepada Sean William Henley dinilai keliru. Dia mengatakan apa yang dilakukan oleh Sean William Henley ini tidak ada yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 46 Jo. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7/1992 tentang perbankan.
"Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah perbuatan korporasi dalam melakukan hubungan keperdataan dalam bentuk utang piutang yaitu suara sanggup atau surat utang (promissory note)," katanya.
Sebagaimana diketahui, IOI telah menerbitkan HYPN pada 2016-2020. Instrumen itu menawarkan bunga tetap 9-12 persen per tahun. Pada 2016 sampai April 2020, pembayaran kupon imbal hasil berlangsung lancar, namun pandemi Covid-19 membuat perekonomian seluruh dunia hancur dan berimbas pada IOI mengalami penundaan pembayaran kepada para pemegang HYPN terhitung mulai 1 April 2020.
Pandemi Covid-19 yang berlarut akhirnya membuat penundaan pembayaran yang berkelanjutan kepada pemegang HYPN. Hal ini selanjutnya mengakibatkan munculnya permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dari beberapa pemegang HYPN.
Proses persidangan PKPU kemudian memutuskan untuk menerima skema perdamaian yang ditawarkan IOI dalam perjanjian homologasi yang disetujui mayoritas kreditur sebanyak 878 kreditur telah dituangkan dalam putusan PKPU - Perdamaian (Homologasi) pada Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat No.174/PDT-SUS/PKPU/2020/PN.NIAGA.JKT.PST pada 2 September 2020.
Adapun skema yang disetujui dalam proses PKPU, yakni dana para kreditur akan dibagikan dalam tujuh tahap yang akan dimulai dari 1 Maret 2021 hingga Desember 2027. Hal itu ditetapkan majelis hakim dengan mempertimbangkan jumlah investasi, umur kreditur, dan kondisi kesehatan kreditur.
Hasbullah juga menjelaskan, penerbitan HYPN oleh IOI tidak dapat dinilai sebagai produk perbankan. Keterangan ini juga sudah disampaikan oleh sejumlah ahli yang dihadirkan pada persidangan bahkan ahli dari jaksa pun berpendapat demikian.
"Salah satunya adalah keterangan ahli Dr Yunus Husein sebagai ahli hukum perbankan yang dalam keterangannya menjelaskan bahwa menerbitkan surat sanggup bayar itu tidak perlu ijin OJK karena promisorry note adalah surat sanggup atau surat utang yang disepakati oleh IOI sebagai debitur dan pemegang HYPN sebagai kreditur. Jadi memang kalau menghimpun dana masyarakat memang harus izin OJK tapi khusus promisorry note (surat utang) tidak perlu ijin OJK," kata Hasbullah.
Hasbullah juga mengutip pendapat ahli hukum perdata, Muhammad Rizky Aldilla, S.H., M.KN, yang disampaikan dipersidangan. Terkait dengan perjanjian HYPN (IOI), kata Hasbullah, dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan perjanjian utang-piutang yang membuatnya tidak memerlukan izin penerbitan dan OJK.
"Jadi dakwaan JPU yang menyebut IOI telah menghimpun dana masyarakat dan harus memerlukan izin OJK untuk penerbitan HYPN sangat tidak berdasar. Bahkan keterangan saksi dari OJK, Akmal Fadhil Nasution, di persidangan menerangkan tidak ada aturan PN harus izin OJK karena PN adalah surat utang dan yang dikeluarkan IOI HYPN ada surat utang jadi tidak perlu izin OjK," katanya.