JAKARTA - Pemerintah harus membuat aturan agar investor energi baru dan terbarukan (EBT) lebih menggunakan komponen lokal ketimbang impor. Di lapangan, proyek Pembangkit Listrik Energi Surya (PLTS) menggunakan 100 persen komponen impor.

Anggota Komisi VII DPR RI, Andi Yuliani Paris, berharap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membuat regulasi investasi dan manufaktur mengatur investor energi baru dan terbarukan (EBT) yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri.

"Penggunaan komponen lokal harus dibikin semaksimal mungkin, karena ini menjadi roadmap bagi Indonesia ke depannya. Indonesia bisa mereplikasi dari rekayasa engineering yang ada," tegasnya dikutip dari laman resmi DPR RI, Minggu (29/9).

Pemikiran Andi Yuliani ini berangkat dari salah satu PLTS besar di Jawa Barat, 100 persen menggunakan material impor. "Saya minta ke depannya tentu ada regulasi yang memisahkan antara TKDN Jasa dan TKDN Sistem yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar tidak lagi bergantung pada negara lain," jelasnya.

Politisi Fraksi PAN itu berharap agar ke depannya pemerintah segera memikirkan regulasi tersebut dan Indonesia bisa mereplikasi rekayasa engineering yang ada.

"Kita punya lulusan yang hebat, ini semua bisa dipelajari karena investasi bukan hanya PLTS ini saja, tetapi juga investasi itu harus meningkatkan industri-industri dalam negeri," tandasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan penguasaan teknologi dan pengembangan industri teknologi energi terbarukan perlu dilakukan.

Fabby mengatakan itu menjadi catatan penting bagi pemerintahan baru nanti. "Tujuannya agar risiko ketergantungan teknologi pada pemasok asing dapat dikurangi," tegas Fabby.

Pacu Pertumbuhan

Fabby menjelaskan bahwa salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen adalah dengan mengintegrasikan pembangunan rendah karbon, di mana pemanfaatan energi terbarukan, efisiensi energi dan penurunan emisi gas rumah kaca dari perubahan tata guna lahan adalah kuncinya.

"Intensitas emisi karbon rendah dari penyediaan energi kita merupakan daya tarik investasi asing dan domestik, dan Indonesia butuh lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi," ucapnya.

Karena itu, bagi Fabby perlu bagi pemerintahan baru untuk mengejar bauran energi terbarukan minimal 40 persen di 2030. "Pemerintahan harus menolak upaya-upaya untuk memperpanjang ketergantungan Indonesia pada energi fossil dan menurunkan target pencapaian energi terbarukan," tegasnya

Indonesia harus mengejar ketersediaan energi yang terjangkau dan berkelanjutan. Kalau menurut Dewan Energi Nasional (DEN), Index Ketahanan Energi kita masih dalam keadaan baik, tapi juga menyimpan kerentanan. Sebanyak 87 persen energi kita dipasok oleh energi fossil.

Energi fosil adalah tradeable commodity yang memiliki volatilitas harga yang sangat tinggi. Kondisi ini mengancam ketahanan energi kita. "Untuk memperkuat ketahanan energi maka risiko kerentanan ini harus dikurangi lewat kebijakan diversifikasi dan konservasi energi. Dengan diversifikasi, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan harus ditingkatkan," pungkas Fabby.

Baca Juga: