Kasus listrik padam, Minggu (4/8), membuat marah, kesal, dan kerugian amat luas. Betapa tidak selama ini PLN terlalu kejam bersikap. Kalau ada pelanggan yang nunggak sehari saja langsung dikirimi surat ancaman pemutusan sementara, sedangkan kekacuan fatal Minggu kemarin, PLN hanya minta maaf. Sesederhana itu sikapnya, minta maaf.

Kekacauan Minggu kemarin jelas membuat fatal aktivitas perkantoran (banyak yang buka meski Minggu), bisnis, transportasi, dan aktivitas rumah tangga. Tak kurang Presiden Joko Widodo sidak langsung ke Kantor PLN di Jakarta untuk mencari tahu sebab kekacauan padamnya listrik di Jabodetabek, Jabar, Banten, dan Jateng. Kerugian tak terkira itulah yang membuat Presiden "tak berkenan" ketika mendapat penjelasan teknis PLN yang panjang lebar.

Padahal Presiden minta yang simpel dan mudah dipahami. Kepala Negara tampak kecewa dan langsung meninggalkan PLN. Tak seperti biasa, Jokowi tak mau melayani pertanyaan wartawan. Tak ada senyum seperti biasa. Wajah Presiden Jokowi begitu kecewa. Bahasa yang digunakan pun menyiratkan kekecewaan.

"Pertanyaan saya, bapak-ibu semuanya kan orang pinter-pinter. Apalagi urusan listrik kan sudah bertahun-tahun. Apakah tidak dihitung, tidak dikalkulasi kalau akan ada kejadian. Sehingga kita tahu sebelumnya. Kok tahu-tahu drop. Artinya, pekerjaan yang ada tidak dihitung, tidak dikalkulasi. Itu betul-betul merugikan kita semua," tegas Jokowi.

Sebagai perusahaan dengan manajemen besar seperti PLN, Jokowi tak melihat bahwa PLN memiliki tata kelola manajemen risiko yang baik. Menurut Presiden, kejadian dua hari lalu itu merusak nama baik atau reputasi PLN sebagai operator yang diutus negara untuk mengelola kelistrikan. Masyarakat luas amat dirugikan. Presiden beralasan kecewa berat karena tengah berjualan untuk menarik investasi dari mancanegara. Kasus ini bisa membuat jualan Presiden amburadul.

Maka dari itu, kejadian memalukan ini harus diinvestigasi mendalam, tidak cukup hanya penjelasan teknis PLN yang tidak dipahami masyarakat. Polri pun telah menegaskan akan menginvestigasi kasus ini. Banyak alasan yang terlalu simplistis. Misalnya, diungkapkan Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN, I Made Suprateka.

Katanya, pemadaman akibat SUTET Ungaran, Jawa Tengah, tersentuh pohon. Masa iya, pohon bisa membuat fatal seperti ini. Pohon hadir tidak dadakan. Dia atau banyak pohon tumbuh sudah bertahun-tahun, masa baru kemarin diketahui. Lalu, kapan pohon menyentuh SUTET?

Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, akan minta PLN bekerja sama menginvestigasi pemadaman listrik. Tim bakal mencari tahu secara jelas penyebab listrik mati. Dedi bakal fokus mencari penyebab utama pemadaman listrik.

Harus ada sanksi ke PLN karena kekacauan ada yang sampai lebih dari 24 jam. Belum lagi kerugian masyarakat, pengusaha, dan pihak lain lagi.

Harus ada yang bertanggung jawab dan menerima sanksi. Ini kekacauan yang tidak bisa dipahami, sebagaimana diungkapkan Kepala Negara, perusahaan besar dan sudah lama sekelas PLN tak mampu mengantisipasi pemadaman yang begitu luas.

Kalau perlu, harus ada pejabat yang mengudurkan diri sebagai rasa tanggung jawab. Di beberapa negara, menteri mundur karena listrik padam, di antaranya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Turki, Taner Yldz, Menteri Ekonomi Taiwan, Lee Chih-kung. Kemudian, Menteri urusan Listrik Irak, Karim Waheed, serta Menteri Ekonomi Korea Selatan, Choi Joong-kyung. Siapa yang akan mundur atas kekacauan ini dari pejabat Indonesia?

Sayang, di sini belum ada budaya malu, sehingga apa pun yang terjadi, pejabat tak pernah mau melepaskan 'kursi.' Mengapa demikian? Sebab orang menjadi pejabat untuk bekerja alias mencari uang. Ini berbeda dengan pejabat di luar negeri. Mereka menjadi pejabat pertama-tama bukan mau mengeruk uang, melainkan ingin menjadi pelayan masyarakat. Jadi, dengan perbedaan filosofi seperti ini, sulit mengharapkan pejabat Indonesia untuk mundur, walau terjadi kekacauan luar biasa, seperti listrik padam kemarin.

Baca Juga: