Pemerintah jangan hanya mengejar target investasi, tetapi mengesampingkan dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja.
JAKARTA - DPR RI mengingatkan Kementerian Investasi agar setiap target penanaman modal diiringi dengan peningkatan serapan tenaga kerja. Sebab, peningkatan investasi yang saat ini terjadi dinilai masih belum sebanding dengan penyerapan tenaga kerja lokal.
"Isu terpenting untuk bagaimana target-target investasi yang yang bisa dipenuhi dengan baik itu dari sisi jumlah itu bisa paralel dengan penyerapan tenaga kerjanya, Pak. Ini yang paling hangat," kata anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Investasi Rosan Roeslani, di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (12/9).
Amin juga menyinggung meningkatnya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi baru-baru ini. Dia menyebut pada 2022, capaian investasi di atas 100 persen, namun pada tahun sama, penyerapan tenaga kerja dari investasi hanya satu juta orang.
"Sementara PHK baik yang sukarela maupun yang terpaksa gitu ya. Maksudnya terpaksa itu memang benar-benar diberhentikan yang sukarela (atau) terpaksa harus mengundurkan diri ada 1,6 juta orang. Ini kan untuk menjadi PR kita bersama," jelasnya.
Untuk itu, dirinya mendorong peningkatan investasi dengan mempertimbangkan faktor penyerapan tenaga kerja. "Bagaimana investasi yang ada, investasi yang masuk baik PMDN maupun PMA itu benar-benar kalau kita bisa lebih berorientasi pada karya mungkin juga tidak harus sepenuhnya begitu, tapi benar-benar mempertimbangkan faktor ini sehingga terserapan tenaga kerja itu bisa maksimal," harap Politisi Fraksi PKS ini.
Amin AK juga mendesak pemerintah melindungi masyarakat kelas menengah yang saat ini rentan menjadi masyarakat kelompok bawah. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian pemerintah kepada masyarakat kelas menengah.
Dia menyebut setidaknya menurut banyak ahli, kebijakan pemerintah saat ini banyak berfokus pada 20 persen kelompok masyarakat terbawah dan 10 persen kelompok ekonomi atas. "Jadi kelas menengah ini kurang menjadi perhatian," kata Amin.
Dosen SBM Institut Teknologi Bandung (ITB), Yorga Permana, beranggapan kerja layak menjadi faktor penting mencegah terjadinya penurunan kelas menengah. "Kerja layak mendorong masyarakat keluar dari kemiskinan, melakukan mobilitas sosial, dan naik kelas ke kelas menengah," ungkap Yorga.
Namun, pemerintah belum banyak menyinggung persoalan kerja layak. Sektor informal di Indonesia masih mendominasi pasar tenaga kerja Indonesia dan tren gig economy sejak 2014. Penurunan kelas menengah terjadi ketika pekerja formal beralih menjadi pekerja informal karena tidak adanya kerja layak di sektor formal.
Deindustrialisasi Prematur
Yorga memaparkan deindustrialisasi prematur terindikasi dari terjadinya penurunan tenaga kerja sektor pertanian yang diimbangi dengan peningkatan tenaga kerja sektor jasa berketerampilan rendah. "Alternatif lain selain manufaktur yang harus didorong oleh pemerintah adalah sektor jasa berketerampilan tinggi," ujar Yorga.
Untuk menciptakan kerja layak, lanjutnya, diperlukan kebijakan industri berfokus pada sektor yang memberikan local multiplier terbesar, seperti sektor manufaktur atau jasa (ekonomi digital, jasa perusahaan, dan keuangan).
Seperti diketahui, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendapatkan anggaran sebesar 681,8 miliar rupiah pada 2025 atau turun hingga 44,5 persen dibandingkan pada 2024.
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Rosan P Roeslani, mengatakan meskipun anggaran yang didapat kementeriannya hanya 43-44 persen dari anggaran yang diajukan, yaitu 1,5 triliun rupiah, dirinya mengaku tetap optimistis bisa mencapai target pertumbuhan investasi. Adapun target investasi pada 2025 meningkat menjadi 1.905 triliun rupiah, dari sebelumnya 1.650 triliun rupiah pada 2024.