Semakin banyak investasi padat karya maka makin meningkat pula penyerapan tenaga kerja.

JAKARTA - Kementerian Investasi diminta serius menarik investasi padat karya di RI. Jika hanya mengandalkan investasi padat modal, hal itu tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi, apalagi RI tengah menikmati bonus demografi hingga 2030.

Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina, dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, berharap investasi Indonesia ke depan lebih difokuskan pada investasi padat karya. Sebab, dia melihat selama ini, investasi banyak berfokus pada investasi padat modal, yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.

"Tentu kita juga pada 2025, apakah pemerintah akan fokus pada investasi padat karya atau padat modal? Kami berharap pemerintah dapat mengembangkan investasi padat karya mengingat pengangguran kita sekarang banyak sekali Pak Menteri, bertambah," kata Nevi di Senayan, Jakarta, Selasa (11/6).

Industri padat modal adalah industri yang dalam produksinya cenderung lebih menekankan penggunaan mesin ketimbang tenaga manusia dan membuat mereka bergantung padanya. Sebaliknya, industri padat karya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan tenaga mesin.

Menurut Nevi, semakin banyak investasi padat karya maka semakin meningkat pula penyerapan tenaga kerja. "Kita tahu (sudah menjadi) rahasia umum, Gen-Z kita sudah menganggur (pengangguran sebanyak) 10 juta orang. (Investasi padat karya) agar dapat mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja dalam negeri dengan maksimal," harapnya.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 9,9 juta Gen Z di Indonesia pada rentang usia 15-24 tahun atau akrab disapa dengan Gen-Z menganggur atau not employment, education, or training. Angka ini menjadi pukulan keras bagi Indonesia di tengah target mencapai Indonesia Emas pada 2045.

Menanggapi fenomena tersebut, anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin, mendorong pengentasan pengangguran bagi pemuda dalam RAPBN 2025.

"Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan di tengah tantangan kita dalam menghadapi fenomena bonus demografi ke depan. Generasi yang semestinya menjadi sumber daya manusia yang produktif, tetapi justru tidak terberdayakan dan belum terserap secara optimal di pasar tenaga kerja," ungkapnya.

Picu Pengangguran

Menurut Puteri, ada beberapa faktor menjadi penyebab tingginya pengangguran di kalangan pemuda, seperti kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga. Hingga, persoalan kurang sinkronnya antara pendidikan dan permintaan industri (skill mismatch) yang membuat waktu tunggu dalam mencari kerja menjadi lebih lama.

"Akhirnya, mereka beralih ke sektor informal. Ini juga terkonfirmasi dari data BPS yang menyebut pekerja informal dari kalangan Gen Z mencapai 10,89 juta orang," urai Puteri.

Sebagai informasi, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025 menargetkan untuk menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada kisaran 4,5-5,0 persen. Karena itu, Puteri menekankan pentingnya penurunan pengangguran pada generasi Z.

Menurut dia, salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan anggaran pendidikan sebaik mungkin untuk memastikan agar anak muda mampu meraih jenjang pendidikan tinggi di tengah polemik tingginya biaya kuliah. Kemudian, aspek pelatihan kerja juga harus dioptimalkan.

"Apalagi, data BPS mencatat tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana justru mengalami sedikit kenaikan menjadi 5,63 persen. Sehingga, kami mendorong pemerintah untuk mencari solusi dalam mengatasi persoalan ini," sebut Puteri.

Baca Juga: