JAKARTA - Sampah di darat terutama sampah organik dan plastik tertentu, styrefoam, pampers, dan lain-lain menjadi masalah serius. Untuk itu, perlu penanganan sampah organik yang diintegrasikan dengan pertanian, perkebunan, agroforestry, perikanan, peternakan, dan lain-lain.

"Pekerjaan kita kini dan mendatang adalah mengintegrasikan antara pengelolaan sampah dan pertanian terpadu (integrated farming) sebagai upaya mendukung ketahanan pangan nasional," kata Ketua Koalisi Persampahan Nasional, Bagong Suyoto dalam siaran persnya yang diterima Koran Jakarta, Kamis (29/4).

Sekarang, tambah Bagong, pemerintah sedang menggulirkan kebijakan memperkuat sektor pertanian guna mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan di seluruh Indonesia. Hal ini guna pengurangan impor dan ketergatungan berbagai komoditas pangan dari luar negeri. Memang sangat ironis negeri agraris selalu tergantung pada negeri lain

Sebetulnya, tambah Bagong, tahun 1980-an sudah lama diskursus mengenai ketahanan dan kedaulatan pangan oleh kalangan pakar, aktivis, dan lembaga yang menggeluti bidang pertanian. Mereka tergabung dalam jaringan pertanian organik tingkat Asean, bahkan tingkat dunia.

Pada tingkat Asean dibentuk "Jaringan Pertanian Berkelanjutan", dan seterusnya. Selanjutnya diselenggarakan program bersama Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina yaitu Four Countries Alatrenative Pesticide Management (APM). Pendekatan dan strateginya berbeda dengan program pengendalian hama terpau (PHT). Pada tahun 2000-an pertanian organik sudah dikenal luas di Indonesia, terutama kalangan menengah atas.

Menurut Bagong, ada yang bilang pertanian berkelanjutan atau selaras alam (back to nature). Sistem pertanian ini masih ditemui di sejumlah tempat di dunia, suku-suku adat, seperti Dayak, Badui, suku-suku Papua, dan lain-lain masih mempertahankan pertanian selaras alam hingga sekarang meskipun sistem pertanian modern yang intensif modal, teknologi, asupan-asupan kimia, benih unggul berkembang semakin pesat.

Pertanian moden tersebut dikenal dengan konteks green revolution. Sedangkan lompatan yang lebih jauh disebut gene revolution (Luke Anderson and Christina Cobb, from the green revolution to the gene revolution, Global Pesticide Campaigner, April 2001). Konteks ini dikupas dalam buku Bagong Suyoto, Rumah Tangga Peduli Lingkungan (2008; 121-124).

Menurut Bagong, pertanian organik adalah sistem yang menjaga kelangsungan interaksi antara manusia, hewan, dan unsur-unsur kehidupan yang ada di alam ini. Pada akhirnya akan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup skala mikro dan makro. Hal ini diperjelas oleh kerja-kerja riset dan implementasi proyek International Federation of Agriculture Movements (IFOAM) berpusat di Jerman untuk komunitas internasional.

Pada abad ke-21, tambah Bagong, pertumbuhan pertanian organik terus meningkat sejalan dengan permintaan pasar. Perkembangan ini terjadi di Kanada, Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa, Asia. Majalah Ecology and Farming (1999) melaporkan kecenderungan meningkatnya komoditas pertanian organik di Amerika Serikat dan Kanada.

Menurut Bagong, sejak tahun 1990-an pertanian dan produk organik mengalami pertumbuhan 2%. Pada 1997 diperkirakan penjualan mencapai 4,2 juta dollar AS. Lebih dari 5.000 petani telah mendapatkan sertifikasi organik pada tahun 1997 dengan luas lahan 608.000 hektare. Pada tahun ke tahun pertanian organik di dunia mengalami peningkatan pesat, seperti di Jepan (Asosiasi Pertanian Organik Jepang), Thailand (Green Net) dan China.

Mereka, tambah Bagong, menekankan perlunya pemulihan dan penyuburan lahan dengan pupuk organik, mempertahankan berbagai jenis tanam pangan endemik dan diversifikasi pangan. Seperti pemulihan dan penyuburan lahan membutuhkan pupuk organik yang cukup, pemuliaan benih lokal (local varieties), pengendalian hama secara alami, pengendalian sumber air yang belum terkontaminasi pestisida dan herbisida, dan lain-lain. Prinsip dan fungsi-fungsi lingkungan diutamakan.

Indonesia merupakan negara agraris dan komposisi sampahnya mayoritas sampah basah atau organik merupakan bahan sangat potensial untuk kompos. "Ada yang bilang komposisi sampah kita, sekitar 60-70% merupakan sampah organik, dan sampah pasar tradisional sekitar 80% merupakan sampah organik," kata Bagong.

Sampah organik tersebut, tambah Bagong, sering jadi masalah. Jika tidak diolah dalam waktu 3 hari akan menimbulkan bau busuk, air lindi, dan jadi tempat belatung dan koloni lalat serta lingkungan tampak jorok. Sejumlah pasar tradisional berubah jadi kubangan sampah, lindi, belatung dan lalat karena sampahnya tak diolah dengan cepat.

Bagong mengatakan guna mengatasi persoalan sampah organik dan guna mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan, maka sampah itu harus diolah dengan metode ilmiah, berdasar pengalaman yang cukup dan peraturan perundangan. Sampah organik dipilah, dipisahkan dari berbagai jenis plastik, styrefoam, pampers, logam, beling, electronic waste (e-waste).

Selanjutnya, tambah Bagong, sampah organik tersebut dicacah dengan mesin pencacah, diayak, lalu disemprot dengan EM4 (effective microorganism) atau starter. Kemudian dimasuk dalam karung atau ditutup rapat, beberapa minggu kemudian sudah jadi kompos. Merupakan model pengomposan aerob.

"Kita sedang mempersiapkan beberapa pilot project model pengolahan sampah diintegrasikan dengan pertanian terpadu di Kabupaten Bekasi, sebab di wilayah ini ditemui banyak lahan tidur yang dibiarkan saja. Pada tahap awal akan diimplementasikan di dua titik, yakni Desa Sumberjaya, Kecamatan Tambun Selatan dan Kampung Kobak Rante Desa Karangreja, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi. Dan beberapa titik yang kini dalam tahap rapid assesment dan penggalian dan penggalang dana, sebab semua pilot project tersebut dengan anggaran swadaya komunitas.

Baca Juga: