Penurunan impor harus dibarengi dengan peningkatan daya saing produk lokal agar bisa bersaing di level global.

JAKARTA - Pemerintah akan menindak tegas intansi baik kementerian/lembaga (K/L), perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun pemerintah daerah (pemda) yang berusaha mengelabui aturan dengan mengemas barang impor seolah-olah produk buatan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa di instansinya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan, pada pembukaan pameran belanja produk dalam negeri Business Matching 2024, di Sanur, Denpasar, Bali, Selasa (5/3), mengatakan akan menjatuhkan sanksi tegas kepada K/L yang "menyulap" produk impor dan dikemas menjadi produk dalam negeri.

"Ada juga barang itu diimpor, diganti packaging-nya (kemasan) jadi seolah-olah tidak impor. Ini diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP yang menemukan ini dan sudah melaporkan," kata Luhut secara daring.

Namun demikian, dia belum menyampaikan secara detail termasuk waktu audit oleh BPKP serta jenis sanksi yang rencananya dijatuhkan kepada pihak yang terlibat.

Selain prioritas produk dalam negeri, Luhut juga menekankan agar belanja barang/jasa yang pendanaannya bersumber dari pinjaman luar negeri, harus memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri serta pembayarannya menggunakan rupiah.

Pertimbangannya karena pinjaman luar negeri itu dibayarkan kembali menggunakan uang hasil pajak yang dibayar oleh rakyat, sehingga belanja diprioritaskan untuk produk dalam negeri.

Dia pun meminta BPKP untuk melakukan audit dan tidak segan untuk melaporkan temuan kepada Kepala Negara.

"Nanti saya minta juga BPKP mengaudit dan saya terus terang tidak segan untuk melaporkan kepada Presiden, institusi mana, individu mana, dan oknum mana yang bermain-main dengan ini, karena dengan audit BPKP ini kita bisa tahu semua," kata Luhut.

Dalam kesempatan itu, dia menjabarkan enam strategi penguatan belanja produk dalam negeri, di antaranya perbaikan proses belanja internal yang terdigitalisasi, transparan, dan tata kelola baik.

Kemudian, belanja produk dalam negeri minimal 95 persen dari anggaran belanja barang dan jasa, serta prioritas merek lokal yang diproduksi di dalam negeri, bukan sekadar kemasan semata.

Selanjutnya menggalakkan penggunaan kartu kredit Indonesia serta mengembangkan peta jalan pengurangan impor dengan target impor maksimal hanya lima persen.

Menurut catatan Luhut, realisasi belanja produk dalam negeri pada 2023 mencapai 1.349,8 triliun rupiah atau naik dibandingkan 2022 yang tercatat sebesar 749,5 triliun rupiah. Dari realisasi itu, ujar dia pula, sebesar 482 triliun rupiah di antaranya diserap oleh BUMN, kemudian disusul kementerian dan lembaga, dan pemerintah daerah.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, menargetkan 250 triliun rupiah nilai kontrak belanja produk dalam negeri pada triwulan pertama 2024 oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada ajang pameran Business Matching, di Sanur, Bali, 4-7 Maret.

Pada 2024, jelas Menperin, potensi belanja barang dan modal APBN dan APBD mencapai 1.223 triliun rupiah di luar belanja BUMN dan BUMD.

Tingkatkan Daya Saing

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya mengatakan pemerintah perlu memberi sanksi tegas bagi pelaku usaha yang nakal.

"Setiap pelanggaran bisa diberikan sanksi tegas, namun pemerintah harus memberi solusi juga dari masalah mereka," katanya.

Esther pun mengatakan dirinya tegas mendukung pemerintah untuk terus mendorong penurunan impor. Tentu, langkah itu harus dibarengi dengan peningkatan daya saing produk lokal agar bisa bersaing di level global.

Sebab itu, diperlukan regulasi yang kondusif yang mendorong penguatan produk lokal, kemudian memastikan rantai pasok industri dari bahan baku, bahan intermediate tersedia untuk mendorong produksi produk final Indonesia.

Hal lainnya, kata Esther, adalah pemilihan produk prioritas based on market driven dan mendorong tumbuh kembangnya supporting industries (industri pendukung).

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan pemerintah harus tegas dalam upaya memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri.

"Harus ada monitoring dan evaluasi. Pemerintah sering mengeluarkan pernyataan tegas dan keras, tapi hanya sebatas gertakan. Harus ada realisasi supaya menimbulkan efek jera dan tidak terulang pada K/L yang lain," kata Wibisono.

Baca Juga: