JAKARTA - Penegasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada jajarannya agar memastikan investasi yang masuk ke Indonesia harus ke energi baru terbarukan (EBT) mesti ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres). Dengan demikian, dasar hukumnya lebih kuat itu sehingga masyarakat akan menunggu tindakan nyata dalam membangun EBT.

Selama ini, EBT sama sekali tidak dibangun karena hanya mengacu pada keputusan rapat yang sifatnya sebatas imbauan dan tidak mengikat. Dalam Inpres itu pun diharapkan mengharuskan PLN menyerap listrik EBT sebanyak mungkin tanpa pembatasan dan dengan harga yang wajar.

Sebelumnya harga dari pemerintah untuk listrik EBT dibeli seharga 15 sen per kWh, namun seiring berjalannya waktu makin turun menjadi 11 sen per kWh. Kalau harga tersebut terus ditekan sehingga tidak wajar seperti di Bali dan Jawa Barat, maka pembangunan tidak akan berlanjut karena swasta akan default.

Meskipun ada perusahaan yang mau tanda tangan, namun mereka tidak membangun. Anehnya, tidak digugat oleh PLN karena sebenarnya mereka adalah konconya. Jadi, mereka membuat kontrak yang tidak masuk akal dan terkesan murah, tapi tidak dibangun.

Sementara investor yang kredibel, mereka akan terima jika harga normalnya sekitar 11 sen per kWh. Kalau dikasih harga 4 sen maka tidak akan dibangun karena tidak masuk akal seperti di Bali.

Mandek di Kemenkeu

Pengamat Energi, Fabby Tumiwa, menegaskan sebenarnya sudah ada Peraturan Presiden, sudah dibahas sejak 2019 dan enam bulan terakhir mandek di Kemenkeu.

Perpres yang mengatur harga EBT itu sudah lama ditunggu-tunggu pelaku usaha. Dalam Perpres, jelasnya, mengatur tiga mekanisme harga EBT yakni harga feed in tariff untuk pembangkit energi terbarukan <5 megawatt, harga patokan, dan harga kesepakatan.

Di beleid itu kalau feed in tariff sudah ditetapkan maka harus dibeli oleh PLN. Harga berdasarkan kesepakatan pengembang dan PLN.

Mengenai kontrak PLN untuk offtake EBT agreement, Fabby mengatakan harus masuk akal dan wajar harga belinya. Harga beli EBT itu idealnya mencerminkan biaya teknologi yang wajar, tingkat risiko dan marjin yang wajar bagi pengembang. Tidak harus murah sekali kalau memang biaya investasinya tinggi.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan jika pemerintah sungguh-sungguh mendukung transisi energi ke EBT, maka harus memberikan kemudahan dan stimulus ke investor yang telah bersusah payah bersedia mendukung program energi bersih tersebut.

"Untuk memulai sesuatu yang baru dari awal harus dilakukan pembinaan walaupun kita sudah ada aturannya. Jadi paling tidak harus diberikan insentif seperti pajak, suku bunga rendah, subsidi harga, regulasi dipermudah," katanya.

Selama belum ada regulasi yang kuat, maka pembangunan tidak akan berjalan, hanya slogan-slogan yang disampaikan PLN untuk membangun energi hijau.

Aturan yang jelas dari Pemerintah yang bisa memberi marjin yang wajar bagi investor dipastikan akan mendorong swasta dan lembaga internasional lainnya untuk berpartisipasi membangun bersama.

Baca Juga: