YOGYAKARTA - Selain Oey Tjeng Hien di Bengkulu, Muhammadiyah memiliki aktivis keturunan Tiongkok lain bernama Liem Ho Ho di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Untuk mengenalkan perjuangannya, Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin menggelar diskusi buku berjudul Perjuangan Seorang Mualaf Liem Ho Ho, di Rumah Alam Sungai Andai, Banjarmasin, Sabtu (6/8).

Ditulis oleh cucu Liem Ho Ho, Muria Zuhdi, buku ini mengisahkan biografi Liem yang setelah memeluk Islam memiliki nama Norlias atau H. Abdul Halim. Riwayat lain seperti Direktori Paham, Aliran, dan Tradisi Keagamaan di Indonesia Volume 1 (2014) menyebut namanya sebagai Haji Nuriyas. Liem Ho Ho sendiri adalah generasi pertama orang Tionghoa yang datang ke Banjarmasin.

Liem dibawa merantau ke Indonesia oleh orangtuanya sejak usia 10 tahun dari dusun Kau San Jie di Hok Tjia atau yang sekarang menjadi Prefektur Fuzhou, Provinsi Fujian/Hokkian, Tiongkok. "Kami lebih banyak mendiskusikan soal peran sosial beliau di tengah masyarakat, karena peran beliau sebagai tokoh banyak pelajaran yang bisa dipetik. Baik bagi warga tionghoa sendiri maupun warga Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin," ujar Pembina LK3 Banjarmasin Nurholis Majid dikutip dari Muhamammadiyah.or.id hari ini.

Menurutnya, Liem Ho Ho termasuk salah satu tokoh Tionghoa yang membentuk Persatuan Islam Tinghoa Indonesia (PITI) pertama kali. Meski semasa hidupnya kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, Liem yang beristrikan orang Banjar itu tetap gigih berjuang untuk Persyarikatan dan Indonesia

"Itu pelajaran yang menurut kami, setelah buku ini terbit menarik untuk diketahui, bukan hanya untuk keluarga beliau tapi untuk masyarakat luas," tutur Majid.

Dalam forum ini, banyak tokoh Tionghoa dari Persatuan Sosial Warga Tionghoa Indonesia Wilayah Kalimantan Selatan dan Kota Banjarmasin yang hadir. Di antara mereka adalah Arifin, Sarwadharma, Winardi, Suriani Khair dan Maria Rusli.

Mereka juga berdiskusi soal pandangan negatif yang saat ini masih kerap ditemui pada keturunan Tionghoa. Mereka menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Tionghoa dengan warga Banjarmasin dan sekitarnya, atau masyarakat Indonesia pada umumnya. Lewat penulisan buku ketokohan warga Tionghoa yang mengabdikan dirinya untuk Islam dan Indonesia seperti ini, mereka berharap stigma negatif tersebut semakin lebur.

"Contoh seperti saya ini Islam, namun tetap dipanggil Cina. Kita jangan mengecilkan masalah itu, satu hal yang terpenting, karena kita sama mempunyai iman, bahwa kita lahir di Banjarmasin bukan kehendak kita, itu merupakan kekuasaan dari Allah SWT," tutur Winardi

Baca Juga: