JAKARTA - Pakar hukum Margarito Kamis menegaskan, dalam penegakan hukum, termasuk dalam pemberantasan korupsi, presumption of innocence atau praduga tak bersalah merupakan salah satu asas hukum yang harus dipegang teguh aparat penegak hukum. Tapi, asas hukum ini kerap diabaikan.

"Sebagaimana Penjelasan Umum butir ke-3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain berisi setiap orang yang disangka saja wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," kata Margarito dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (4/5).

Menurut Margarito, asas praduga tak bersalah itu prinsipil. Apa pun ceritanya, praduga tak bersalah harus tetap di depan. Apa pun faktanya. Masalahnya adalah prinsip ini sering kali diabaikan.

"Hanya karena aparat penegak hukum menganggap ada fakta tertentu, seolah-olah seseorang langsung divonis melakukan pelanggaran pidana. Padahal, fakta tersebut belum tentu teruji," katanya.

Ditambahkannya, praduga tak bersalah sering diabaikan cuma karena adanya fakta yang belum tentu valid. Misal seorang X disebut oleh orang lain terlibat dalam satu kasus. Kalau hanya itu yang dijadikan pijakan, maka tidak cukup. Sayangnya yang seperti ini sering kali terabaikan. "Itu yang menjadi persoalan kita selama ini," ujar Margarito.

Sementara terkait penggeledahan terhadap ruang kerja dan rumah dinas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, belum lama ini, Margarito memiliki pandangan sendiri. Kata dia, Azis masih sebatas saksi. Bahkan belum diperiksa. Namun, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru sudah melakukan penggeledahan.

"Dia statusnya saksi, diperiksa saja belum, tapi sudah digeledah. Penggeledahan harusnya dilakukan kepada pelaku tindak pidana. Kenapa dia digeledah? Apakah dianggap di situ ada barang bukti? Tapi Anda mesti tahu, ini peristiwa bukan tertangkap tangan. Sudah dari Oktober 2020. Barang bukti apa yang mau dicari?," tukas Margarito.

Margarito mengatakan langkah KPK mengusut dugaan keterlibatan Azis mempertemukan penyidik KPK dan wali kota Tanjungbalai, patut dianggap sebagai suatu keanehan. Menurut Margarito, pendalaman KPK terhadap Azis seperti sebuah drama.

"Azis dianggap mempertemnukan penyidik dengan wali kota. Sebatas itu. Apakah dia ikut merancang, harus bayar berapa, dan lain-lain, tidak terlihat sejauh ini. Oleh karena itu, apa yang mau dicari dari tindakan Azis? Sayangnya ini, dramanya sudah luar biasa. Saya kira, kesan yang tercipta Azis seolah-olah langsung bersalah. Padahal, ini baru berdasarkan keterangan-keterangan yang sejauh ini beredar," tuturnya.

Margarito berpandangan, Azis terkesan disudutkan. "Betul ada soal sedikit di situ. Tapi belum cukup dikualifikasi tindakan Azis itu sebagai suatu tindakan yang serta merta melawan hukum. Kenapa? Ini kan baru penyelidikan bukan penyidikan. Karena itu, belum tentu perkara itu lanjut ke penyidikan. Apa yang jadi soal di situ? Sayangnya, berita sudah terlanjur heboh. Banyak tindakan-tindakan yang saya kira menyudutkan Azis," imbuhnya.

Margarito menegaskan Azis mempunyai hak untuk men-challenge fakta-fakta yang dimiliki. Ia mempersilahkan Azis Azis membuka fakta-fakta yang dimilikinya untuk diadu dengan fakta yang dimiliki KPK.

"Jujur saja ini agak menantang atau menarik. Faktanya, dia tidak menerima uang, tidak menerima ini dan itu, tetapi lho kok dia digeledah? Sejauh data yang ada, Azis tidak terlibat atau tidak ikut bicara mengenai duit. Karena tidak terlibat soal duit, itu menjadi soal, kenapa dia mesti serta merta dikenakan tindakan seperti sekarang? Saya kira Azis mesti bicara tuntas soal itu. Azis silakan menggunakan seluruh haknya untuk mempertanyakan itu. Apa pun alasannya, setiap tindakan hukum itu harus sesuai kaidah,"kata Margarito.

Baca Juga: