LONDON - Inggris dan Amerika Serikat (AS), pada Senin (22/1), mengumumkan babak baru sanksi terkoordinasi terhadap tokoh dan entitas penting yang terlibat dalam kepemimpinan dan operasi keuangan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.

Kementerian Luar Negeri Inggris melalui pernyataan resminya menyatakan lima tokoh penting dan entitas yang terlibat dalam kepemimpinan dan jaringan keuangan Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ) menjadi sasaran sanksi baru Inggris.

"Sanksi ini mengirim pesan yang jelas kepada Hamas --Inggris dan mitra-mitra kami berkomitmen untuk memastikan tidak ada tempat persembunyian bagi mereka yang mendanai kegiatan teroris," kata Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron, setelah keputusan tersebut.

"Untuk mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan di Gaza, Hamas tidak bisa lagi berkuasa dan mengancam Israel. Dengan mengganggu jaringan keuangan yang menopang Hamas, termasuk dari Iran, sanksi ini mendukung tujuan penting tersebut," ujarnya.

Mereka yang jadi sasaran pembekuan aset Inggris dan embargo senjata yang ditargetkan terhadap Hamas sekarang termasuk Zuheir Shamlakh, Ahmed Sharif Abdallah Odeh, Ismail Barhoum, Hassan Al-Wardian, dan Jamil Yusuf Ahmad Aliyan.

Selain pembekuan aset dan embargo senjata, individu-individu tersebut juga dikenakan larangan bepergian sehingga tidak bisa masuk ke Inggris.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Israel melancarkan serangan mematikan ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober --menyusul serangan lintas batas oleh Hamas, menewaskan sedikitnya 25.295 warga Palestina dan melukai 63.000 lainnya. Hampir 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan Hamas.

Serangan Israel telah membuat 85 persen penduduk menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan, dan 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut telah rusak atau hancur.

Gedung Putih, Kantor Presiden AS, melalui juru bicaranya mengatakan pada Senin (22/1) bahwa Arab Saudi "positif" mengenai normalisasi hubungan dengan Israel. Pernyataan itu muncul beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Arab Saudi tampak mengecilkan kemungkinan tersebut.

Baca Juga: