JAKARTA - Tekanan inflasi nasional pada paruh pertama tahun ini diperkirakan masih tinggi, terutama akibat lonjakan harga komoditas pangan. Namun, tekanan tersebut diproyeksikan mengendur pada periode enam bulan terakhir tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memproyeksikan inflasi pada 2023 secara nasional akan turun menjadi kurang lebih dalam rentang 3-4 persen pada semester II 2023. "Tetapi di paruh pertama tahun ini inflasi khususnya untuk pangan masih tinggi beserta inflasi harga-harga yang diatur pemerintah (admisitered prices), sehingga perlu dikendalikan," ujar Perry dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda tahun 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (17/1).
Pada tahun ini, terdapat dua pulau yang kemungkinan mengalami penurunan inflasi yakni Kalimantan yang disebabkan revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi, cuaca yang lebih kondusif, dan penurunan biaya pupuk serta Jawa yang diakibatkan realisasi inflasi yang lebih dalam terutama inflasi pangan dan mempertimbangkan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang lebih rendah.
Kendati demikian, Perry menyatakan terdapat tendensi inflasi yang naik untuk Bali dan Nusa Tenggara, Sumatera, serta Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua) sehingga perlu dilihat terlebih dahulu berbagai faktor-faktornya. Faktor yang dimaksud terutama untuk harga makanan, masalah cuaca, keseimbangan antar daerah, dan ketersediaan pasokan maupun distribusi barang yang harus diperhatikan.
Untuk Bali dan Nusa Tenggara, kecenderungan peningkatan inflasi disebabkan oleh percepatan pemulihan ekonomi seiring peningkatan sektor pariwisata, sedangkan di pulau Sumatera terdapat prospek konsumsi domestik yang lebih tinggi dan penyesuaian harga cukai rokok tahun 2023.
Sementara untuk Sulampua, perkiraan naiknya inflasi disebabkan perbaikan daya beli dan permintaan, terutama didorong kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan cukai rokok.
Di sisi lain untuk inflasi harga diatur pemerintah, ia mengungkapkan masalah air di daerah, hingga ongkos transportasi perlu dikendalikan. "Berbagai risiko mengenai inflasi inti, kami akan mengendalikan dari sisi moneter berkoordinasi dengan pemerintah," ucap dia.
Pergerakan Melandai
Sebelumnya, tim analisis Bareksa memproyeksikan inflasi pada semester I-2023 tetep tinggi di kisaran 5-5,5 persen karena ada faktor low base effect, yakni pada semester I-2022 tingkat inflasi hanya tercatat naik 2-3 persen, sehingga ketika dibandingkan secara tahunan akan terjadi lonjakan. Sebaliknya, pada semester II-2023, akan ada faktor high base effect sehingga perbandingan secara tahunan akan mengecil.
Namun, secara keseluruhan, Tim Analis Bareksa menilai inflasi 2023 bakal melandai diakibatkan perbaikan rantai pasok dan penurunan biaya angkut, terutama angkutan kapal yang tarifnya sudah kembali ke harga sebelum pandemi. Selain itu, permintaan global cenderung melemah akibat penurunan tingkat tabungan masyarakat setelah pembukaan ekonomi pasca lockdown.