MOSKWA - Hasil survei independen terhadap para analis yang diminta oleh Bank Sentral Russia, pada Kamis (10/3) waktu setempat, menunjukkan inflasi di Russia diperkirakan akan meningkat 20 persen pada tahun ini, sedangkan ekonominya diperkirakan bisa turun 8 persen.

Menurut 18 ekonom yang disurvei pada periode 1 hingga 9 Maret lalu, dengan lonjakan inflasi itu maka tingkat suku bunga rata-rata tahun ini diperkirakan sebesar 18,9 persen.

"Revisi signifikan dari perkiraan konsensus mencerminkan perubahan drastis dalam kondisi ekonomi selama dua minggu terakhir," kata Deputi Gubernur Bank Sentral, Alexei Zabotkin, dalam sebuah pernyataan terpisah.

"Langkah-langkah yang diambil oleh bank sentral Russia dan pemerintah ditujukan untuk membatasi skala penurunan ekonomi dan menghindari periode inflasi tinggi yang berkepanjangan," tambahnya.

Inflasi konsumen tahunan mencapai 10,42 persen pada 4 Maret karena rubel menyentuh posisi terendah dalam sejarah setelah invasi Russia ke Ukraina, diikuti oleh sanksi keras Barat yang memutuskan akses bank sentral dan bank-bank dari sistem keuangan global.

Bank sentral Russia menaikkan suku bunga utamanya menjadi 20 persen dari 9,5 persen dalam langkah darurat pekan lalu, memberlakukan kebijakan dengan mengontrol arus modal dan mengimbau ke perusahaan-perusahaan yang berfokus pada ekspor untuk menjual mata uang asing karena rubel jatuh ke rekor terendah.

Negara Pendukung

Menanggapi sanksi ekonomi yang menekan ekonomi Russia, Dosen Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, I Gede Wahyu Wicaksana, mengatakan meskipun tertekan akibat sanksi ekonomi, Russia sampai saat ini masih mampu bertahan karena dukungan dari beberapa negara sahabat.

"Berbagai persoalan ekonomi timbul bagi masyarakat sipil Russia. Kalau dari sisi militer memang Russia telah menyiapkan segalanya. Namun, sanksi ekonomi dari sejumlah negara dan perusahaan multinasional benar-benar berdampak bagi mereka," katanya.

Menurut Wahyu, apabila menakar kekuatan Russia dalam menghadapi sanksi ekonomi maka harus dilihat dalam beberapa pekan ke depan.

"Meskipun tidak banyak, Russia tetap memiliki beberapa negara pendukung.

Kita akan lihat, seberapa kuat dukungan itu berfungsi untuk mempertahankan perekonomian Russia usai mendapat sanksi berbagai pihak," kata pengamat Politik Russia, Eropa Timur, dan Asia Tengah itu.

Kemunduran Negara Berkembang

Sebelumnya, Wakil Presiden Bank Dunia, Indermit Gill, di Washington, mengatakan perang akan menyebabkan kemunduran pertumbuhan untuk pasar negara berkembang yang sudah tertinggal. Kenaikan harga minyak terus-menerus berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi di negara pengimpor minyak (net importir), seperti Tiongkok, Indonesia, Afrika Selatan, dan Turki.

Kepala Ekonom Bank Dunia, Carmen Reinhart, dalam sebuah wawancara dengan Reuters mengatakan lonjakan harga energi dan pangan akibat invasi Russia ke Ukraina akan memperburuk keamanan pangan di Timur Tengah dan Afrika, dan dapat memicu kerusuhan sosial.

Baca Juga: