Kenaikan harga, terutama pangan akan mendorong masyarakat kurang mampu terpaksa mengurangi belanja pangan untuk berhemat atau memilih alternatif pangan yang kurang bernutrisi sehingga membuat anak rentan terkena stunting karena kurang gizi atau anemia karena kurang zat besi.

JAKARTA - Inflasi tinggi sangat mempengaruhi prevalensi gizi buruk atau stunting nasional. Tingkat inflasi dan harga komoditas tinggi membuat masyarakat mengerem belanja pangan bergizi sehingga membuat anak rentan terkena stunting.

"Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), terlihat bahwa semakin rendah pendapatan per kapita masyarakat, semakin rendah pula pengeluarannya untuk pangan bergizi," ujar Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Sulistiadi Dono Iskandar, dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (31/5).

Menurutnya, akibat inflasi dan kenaikan harga, beberapa masyarakat kurang mampu terpaksa mengurangi belanja pangan untuk berhemat atau memilih alternatif pangan yang kurang bernutrisi. Dia mengatakan kondisi tersebut pun membuat anak rentan terkena stunting karena kurang gizi atau anemia karena kurang zat besi.

Sulistiadi menilai hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara faktor ekonomi keluarga dengan permasalahan gizi anak. Idealnya, seorang anak harus mendapatkan makanan bernutrisi lengkap, seperti karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah.

Dia juga menuturkan selain faktor sosial ekonomi keluarga, permasalahan gizi juga dapat disebabkan karena tidak terpenuhinya standar kualitas makanan dan kesulitan masyarakat untuk menjangkau pangan bergizi.

"Inilah mengapa kurangnya keterjangkauan pangan umumnya melatarbelakangi kondisi status gizi buruk," ucapnya.

LPEM FEB UI mencatat inflasi cenderung meningkat selama periode Januari-Maret 2024, walaupun sudah mulai menurun pada April 2024. Sementara itu, inflasi pada kuartal kedua diprediksi akan semakin menurun dan berpotensi membawa dampak positif terhadap daya beli masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada April 2024 tercatat sebesar 0,25 persen secara bulanan atau month-to-month (mtm). Sementara itu, inflasi tahunan mencapai 3 persen (year-on-year/ yoy) dan inflasi tahun kalender tercatat sebesar 1,19 persen (year-to-date/ ytd).

Instrumen Fiskal

Sebelumnya, pemerintah menegaskan optimalisasi anggaran menjadi kunci utama menghadapi stunting. Alokasi anggaran yang cukup dapat mengejar target menurunkan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024.

Deputi bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden, Suprayoga Hadi, mengingatkan perjalanan mencapai target 14 persen tersebut masih panjang. Ia menekankan pentingnya optimalisasi sumber daya, termasuk anggaran yang telah dialokasikan.

Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 30 triliun rupiah dari APBN, termasuk 23 triliun rupiah untuk program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di samping itu, dana desa juga dialokasikan sebesar 10 persen dari total 70 triliun rupiah untuk program-program penurunan stunting.

Namun begitu, Suprayoga mencatat meskipun anggaran telah dialokasikan, implementasi di daerah tidak selalu efektif. "Hal ini disebabkan beberapa daerah tidak memanfaatkan dana ini dengan baik, sehingga pengawasan dan pendampingan terus dilakukan untuk memastikan penggunaan anggaran yang tepat sasaran," ucapnya dalam dialog virtual beberapa waktu lalu.

Dalam kurun waktu dua tahun, prevalensi stunting nasional turun dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022.

Baca Juga: