Pembangunan RPB akan menciptakan valuasi bisnis dan market share yang besar serta terbangun efisiensi usaha sehingga UMKM mampu bersaing secara kompetitif.
YOGYAKARTA - Pemerintah mendorong industrialisasi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), termasuk melalui pengembangan rumah produksi bersama (RPB) atau factory sharing. Nantinya, keberadaan dan pengelolaan factory sharing diarahkan untuk menciptakan konglomerasi berbasis usaha-usaha kecil.
"Selain itu, factory sharing yang dikelola koperasi harus dilakukan secara benar dengan standar industri. Pola pikir pelaku UMKM harus sudah mengarah ke industrialisasi," kata Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM), Teten Masduki, saat meninjau lahan pembangunan Factory Sharing Pengolahan Susu di Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat pekan lalu.
Di depan para pelaku koperasi dan peternak (sapi dan kambing), Menteri Teten berharap factory sharing di Sleman ini sudah bisa beroperasi pada November 2023. Dia menambahkan pembangunan piloting factory sharing bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk UMKM.
Dengan begitu, para peternak sapi perah dan kambing di Yogyakarta tidak lagi menjual bahan mentahnya. "Dikelola di pabrik ini menjadi produk susu UHT (proses pembuatannya dengan suhu tinggi). Nilai tambah produk meningkat sehingga kesejahteraan peternak juga ikut naik," kata Menteri Teten.
Menkop UKM memastikan kualitas produk susu dari RPB sama dengan produk hasil pabrikan. "Maka, peralatan produksi dalam factory sharing harus modern, tidak boleh asal-asalan," kata Menteri Teten.
Selain itu, Menteri Teten juga menegaskan factory sharing harus dikelola secara bisnis. Karena itu, Menkop meminta agar hal itu dipersiapkan dengan matang termasuk koperasi yang akan mengelola factory sharing.
Bagi Menkop UKM, dengan bergabung dalam satu merek saja, maka akan menciptakan valuasi bisnis yang besar dengan market share yang besar pula. Lebih dari itu, kata Menkop UKM, bila pelaku usaha yang kecil-kecil itu membangun ekonomi kolektif lewat koperasi maka bisa terbangun efisiensi hingga mampu bersaing secara kompetitif. "Ini akan menjadi role model untuk pengembangan UMKM ke depan," kata Menteri Teten.
Di NTT, misalnya, akan dibangun factory sharing untuk pengolahan produk bambu dan sapi. Sementara, di Minahasa Selatan yang kaya akan perkebunan kelapa, akan dibangun pabrik pengolahan kelapa.
"Tahun ini, kita akan membangun delapan factory sharing, sedangkan tahun lalu sudah ada tiga. Hal seperti ini bisa dilakukan UMKM, bukan hanya konglomerat, tapi dengan standar pabrikan," ujar Teten.
Terkendala Modal
Seperti diketahui, UMKM selama ini diyakini menjadi bantalan ekonomi cukup kuat saat terjadi krisis ekonomi. Sayangnya, pengembangan usaha kecil di Tanah Air masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya pengelolaan modal kerja dan likuiditas.
Hasil kajian dari penelitian global yang memberikan wawasan tentang kehidupan finansial perusahaan kecil, Small Firm Diarie (SFD) menyimpulkan bahwa usaha kecil memerlukan alat yang lebih baik untuk mengelola modal kerja dan likuiditas. Berdasarkan hasil kajian terhadap 162 usaha kecil yang tersebar di Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar dapat disimpulkan usaha kecil cenderung kekurangan modal kerja/ likuiditas.